Kamis, 20 Mei 2010

skripsi hubungan internasional 2

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Peristiwa 11 September yang menimpa Amerika Serikat ada tahun 2001, benar-benar membawa perubahan yang sangat drastis terhadap hubungan internasional, terutama hubungan antara negara-negara Barat dengan negara Timur Tengah dan beberapa waktu setelah penyerangan 9/11 tersebut, pemerintahan Amerika Serikat segera mengeluarkan kebijakan luar negeri dalam memerangi terorisme Internasional yang dikenal luas dengan nama Doktrin Bush yaitu pre-emptive strike. Terjadi kecurigaan yang berlebihan oleh pihak Barat terhadap negara-negara Timur Tengah.
Afganistan yang disinyalir merupakan markas besar Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dan menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa 9/11 pada tahun 2001 langsung digempur oleh Amerika Serikat dan akhirnya dapat dikuasai Amerika Serikat. Sasaran selanjutnya adalah Irak, dengan bermacam dalih seperti pengembangan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction), Irak sebagai pemerintahan yang mendukung kegiatan terorisme internasional, penegakan demokrasi di bawah pemerintahan otoritarian oleh Saddam Hussein dan alasan lainnya, Amerika Serikat menginvasi Irak pada tahun 2003 dan akhirnya dimenangkan kembali oleh Amerika Serikat, Saddam Hussein tertangkap bahkan sekarang telah dieksekusi dan pemerintahan Irak setelah Saddam berjalan di bawah pengawasan Amerika Serikat. Setelah Irak, maka sasaran Amerika Serikat selanjutnya adalah negara yang bertetangga dengan Irak, yaitu Iran. Iran dituduh Amerika Serikat berusaha mengembangkan teknologi nuklir yang dapat mengancam keamanan internasional karena dikuatirkan akan mengembangkan senjata pemusnah massal sebagaimana yang dituduhkan kepada Irak sebelumnya.
Kawasan Timur Tengah selama ini cenderung merupakan kawasan yang ramai dengan konfik, baik itu konflik antar negara maupun konflik antar etnis atau kelompok di dalam suatu negara. Sebagian besar negara-negara Timur Tengah tidak menghendaki kehadiran negara Yahudi Israel di kawasannya dan mendukung kemerdekaan bangsa Palestina yang kemudian berkembang menjadi konflik antara negara-negara yang tergabung dengan Liga Arab dengan Israel dalam upaya mengusir Israel dari kawasan Timur Tengah dan membantu perjuangan kemerdekaan Palestina. Konflik Timur Tengah juga diwarnai dengan konflik antar negara Arab sendiri, seperti konflik Perang Teluk I (Irak-Iran), Perang Teluk II (Irak-Kuwait), Libanon-Suriah.
Iran, di tengah sistem internasional dan kawasan Timur Tengah merupakan negara yang mempunyai posisi sangat strategis baik dalam hal letak geografisnya yang berbatasan dengan Azerbaijan dan Armenia di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan di timur laut, Pakistan dan Afganistan di timur, Turki dan Irak di barat, dan perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan, selain itu kekayaan alamnya, terutama minyak mentah merupakan salah satu pemasok minyak mentah terbesar di dunia sebagaimana halnya dengan mayoritas negara Timur Tengah lainnya. Iran juga dikenal sebagai negara muslim besar yang mengusung nilai-nilai Islam dalam sistem pemerintahannya.
Sejak kemenangan Khomeini yaitu revolusi Islam Iran, kebijakan luar negeri Iran berubah drastis. Iran menjadi anti-Amerika Serikat. Hal ini disebabkan kaum Mullah (ulama Iran) menganggap AS berada dibalik kekuasaan Reza Shah. Iran sendiri setelah menang dalam perjuangan melawan Shah Iran, nampak ingin menerapkan prinsip-prinsipnya di dalam negeri dan menyebarluaskannya ke luar negeri di bawah pimpinan Khomeini, yang telah mengakhiri tradisi kerajaan selama 2500 tahun dan mengubah persahabatan Iran – AS selama tiga puluh tahun menjadi konfrontasi. Iran dibawah Khomeini menganggap AS sebagai Setan Besar (The Great Satan) yang harus dilawan.
Fatwa Khomeini, selaku pimpinan tertinggi Republik Islam Iran , yang cukup keras terhadap kebijakan politik luar negeri Iran pada masa itu adalah berkompromi dengan Barat dan Timur merupakan suatu pengkhianatan terhadap Islam. Pandangan ini kemudian dijadikan landasan kebijakan luar negeri Iran. Hal ini dijalankan oleh presiden Iran selama masa kepemimpinan Khomeini.
Dalam masa tersebut, Iran telah mengalami pergantian presiden selama tiga kali. Presiden Iran pertama adalah Abu Hasan Bani-Sadr. Bani Sadr merupakan seorang nasionalis yang dipengaruhi oleh latar belakang status ulamanya dan pemikiran Kiri Eropa khususnya Perancis serta pemikiran tentang negara Dunia Ketiga. Hal ini menjadikan Bani-Sadr cenderung lebih militan dan termasuk tipe aktivis dalam kebijakan yang tidak berpihak pada pihak manapun bagi Iran, khususnya jika menyangkut masalah-masalah Islam. Khawatir dengan ancaman Uni Sovyet, Bani Sadr ingin menjaga hubungan yang wajar dengan negara-negara barat.
Kebijakan luar negeri Iran pada masa presiden Bani-Sadr didominasi oleh tiga isu utama yaitu krisis penyanderaan diplomat AS, perebutan kekuasaan dalam politik dalam negeri Iran sendiri dan invasi Uni Sovyet ke Afghanistan. Dari tanggal 4 Nopember 1979 sampai dengan 20 September 1980, krisis penyanderaan kedubes AS mendominasi kebijakan luar negeri Iran maupun dalam negerinya. Krisis penyanderaan ini menimbulkan dampak ekonomi dan politik yang cukup besar. Iran dipandang sebagai subjek boikot ekonomi dan disebut sebagai bangsa yang tidak memiliki hukum. Kebijakan luar negeri Iran ke AS sangat jelas dengan peristiwa penyanderaan ini Abu Hasan Bani-Sadr hanya menjabat presiden selama 1 tahun, karena Bani-Sadr diberhentikan sebagai presiden sebab dinilai terlalu liberal dan tidak sesuai dengan cita-cita Revolusi Islam.
Pada masa Presiden kedua Iran yaitu Ali Rajai’e, Iran harus menghadapi Perang dengan Irak. Selama Periode ini, aktivitas revolusioner Iran di wilayah Arab, khususnya Lebanon, meningkat. Dalam rangka untuk menyebarkan revolusinya, aktivitas Iran di negara-negara Arab ditujukan untuk mengecilkan negara-negara Barat, khususnya keberadaan dan kepentingan AS. Kebijakan Iran ini mengundang reaksi AS dengan mengganti kebijakannya dari menjaga keseimbangan antara Iran dan Irak dalam perang, menjadi aktif mendukung Irak. Perubahan ini mengakibatkan konfrontasi antara Iran-AS. Hubungan Iran dengan negara Eropa Barat juga memburuk, dikarenakan dukungan Perancis terhadap Irak Namun, hubungan Iran dengan negara Eropa Timur malah membaik.
Pada masa presiden Iran ketiga yaitu Hujjatul Islam Ali Khamenei, Iran mulai menerapkan diplomasi terbuka (oper door diplomacy). Hal ini dikarenakan Iran menyadari bahwa Iran tidak dapat hidup di luar masyarakat Internasional dan beroperasi di luar sistem antar negara. Ini diperkuat dengan pernyataan Imam Khomeini, selaku pemimpin spiritual Iran, bahwa perlu untuk membangun hubungan dengan negara lain kecuali Amerika Serikat, Israel dan Afrika Selatan.
Diplomasi terbuka ini ditandai dengan kunjungan presiden Khamenei ke Jepang, Cina, negara-negara di Asia Timur, Afrika, Eropa Timur dan Eropa Selatan antara tahun 1984 dan 1988. Namun, masih berlanjutnya perang dengan Irak, membuat Iran harus terus berkonfrontasi dengan Amerika. AS membantu Irak dalam menghadapi perang dengan Iran, sehingga pada akhirnya posisi Iran terdesak. Perang Iran-Irak berakhir dengan negosiasi damai berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB No.598 (Shireen Hunter,1992:147).
Meninggalnya Imam Khomeini Al-Musawi pada tahun 1989 dan diadakannya pemilihan presiden, sedikit banyaknya membawa harapan baru untuk perubahan kebijakan luar negeri Republik Islam Iran ke AS. Dengan terpilihnya Ali Akbar Hashemi Rafsanjani sebagai presiden Iran, banyak pihak yang mengharapkan Rafsanjani dapat menormalisasi hubungan RII dengan negara di kawasan Timur Tengah dan Barat termasuk AS.
Kebijakan luar negeri RII ke AS pada masa kepemimpinan Ali Akbar Hashemi Rafsanjani menarik untuk diamati, karena pada masa kepemimpinannya RII telah cukup stabil politik dalam negerinya, sehingga yang menjadi poin penting kebijakannya adalah pembangunan ekonomi RII dan normalisasi hubungan RII dengan negara lain, termasuk didalamnya AS.
Rafsanjani terpilih menjadi presiden datang dari faksi moderat, lawan dari faksi konservatif yang beraliran garis keras. Terdapat kebijakan yang dibuat Rafsanjani, yang dinilai telah mulai menggeserkan pola kebijakan luar negeri RII terhadap AS yaitu dengan disetujuinya kesepakatan perjanjian antara RII dengan Conoco Oil (perusahaan minyak milik AS). Hal ini menandakan persepsi mengenai AS di mata Rafsanjani tidak lagi sebagai “Setan Besar” ( the great Satan) yang harus terus dikonfrontasi.
Iran memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung konfrontatif dengan kebijakan-kebijakan luar negeri negara Barat. Masalah yang sedang menghangat pada saat ini adalah kebijakan luar negeri Iran yang menentang keinginan dan kebijakan dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan PBB untuk segera menghentikan kegiatan pengembangan teknologi nuklir di Iran. Pihak-pihak tersebut mengkhawatirkan apabila teknologi yang dikembangkan oleh Iran tersebut akan digunakan Iran sebagai usaha pengembangan teknologi senjata pemusnah massal, namun Iran menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa teknologi nuklir yang mereka kembangkan tersebut bertujuan untuk perdamaian, sebagai pemasok kekuatan listrik di Iran.
Sosok pemimpin Iran yang secara lantang menentang kebijakan-kebijakan Barat tersebut adalah Mahmoud Ahmadinejad yang terpilih menjadi presiden Iran dalam pemilihan Juni 2005 dimana sebelumnya menjabat sebagai walikota Teheran sejak 3 Mei 2003. Dia dianggap berasal dari kalangan konservatif dalam beragama dengan pandangan-pandangannya yang islamis dan populis. Sebelum terpilih sebagai walikota dia adalah seorang ilmuwan teknik sipil dan asisten profesor di Iran University of Science and Technology (IUST). Ahmadinejad mengawali karir politiknya dengan mengikuti korps Islamic Revolutionary Guards pada tahun 1986 selama perang Iran-Irak. Kemudian dia juga menjadi kepala teknik angkatan bersenjata keenam dalam Korps Garda Revolusioner Islam dan menjadi kepala dari staf Korps di provinsi bagian barat Iran. Setelah perang dia bertindak sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, menjadi Penasihat Menteri Budaya dan Bimbingan Islam, dan kemudian menjadi gubernur bagi provinsi Ardabil yang baru saja terbentuk dari tahun 1993 hingga Oktober 1997. Ahmadinejad awalnya merupakan figur yang tidak dikenal dalam perpolitikan Iran hingga dia terpilih menjadi walikota Teheran pada Dewan Kota kedua di Teheran pada 3 Mei 2003, setelah mendapatkan suara 12% yang memimpin pemilihan umum kandidat konservatif dari Aliansi Pembangunan Islam Iran di Teheran (Ar-Rusydi, 2007: 37-38).
Dunia langsung mengenali Ahmadinejad sebagai seorang sosok pemimpin yang sangat kharismatik dengan gayanya yang sangat bersahaja namun dapat mengeluarkan opini-opini berkualitas mengenai sistem internasional, hubungan internasional dan isu-isu internasional lainnya. Ahmadinejad juga terkenal sebagai pemimpin negara yang menghendaki lenyapnya anak emas Amerika Serikat yaitu negara Yahudi Israel di tanah Timur Tengah sehingga Israel dan Amerika Serikat memandang Iran sebagai kekuatan yang sangat patut untuk diperhitungkan dan mengancam kepentingan-kepentingan dua negara tersebut di Timur Tengah.
Dari pemaparan di atas, yaitu munculnya kebijakan luar negeri Iran pada masa kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad yang dipengaruhi oleh faktor idiosinkretik jika dibandingkan dengan masa kepemimpinan presiden Iran lainnya, maka hal ini menjadi faktor pendorong bagi penulis untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan alasan berikut :
Pertama, adanya keinginan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Iran pada masa kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad.
Kedua, Adanya keinginan penulis untuk mengetahui dan mempelajari faktor idiosinkretik sebagai salah satu input kebijakan luar negeri dan bagaimana pengaruhnya dalam kebijakan luar negeri Iran.
Ahmadinejad merupakan pemimpin yang sangat langka di dunia internasional pada saat ini yang secara terang-terangan menyatakan keberaniannya untuk menyatakan ketidaksetujuannya pada Barat, oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat judul:
“PERANAN AHMADINEJAD TERHADAP KEBIJAKAN LUAR NEGERI IRAN DALAM MENCIPTAKAN IRAN SEBAGAI KEKUATAN BARU DI KAWASAN TIMUR TENGAH (2005-2007)”
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini akan dilandasi dengan beberapa mata kuliah Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran antara lain:
1. Analisis Politik Luar Negeri, digunakan penulis untuk menganalisis para decision makers, kebijakan-kebijakan yang dibuat, sikap dan perilaku, ataupun aksi yang dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi suatu masalah internasional atau lingkungannya.
2. Politik Internasional, digunakan penulis untuk melihat bagaimana tindakan-tindakan, interaksi-interaksi antar aktor sendiri maupun yang terlibat dalam upaya penyelesaian konflik.
3. Teori dan Metodologi Hubungan Internasional, digunakan penulis untuk memahami pola-pola pendekatan dan paradigma yang digunakan oleh negara-negara dalam melakukan interaksi dengan negara lain, dan bersikap dalam sistem internasional selain itu juga digunakan dalam menentukan unit analisis dari Level of Analysis dalam penelitian masalah ini.
4. Hubungan Internasional Kawasan, digunakan penulis untuk melihat pola hubungan yang terjadi di kawasan Timur Tengah khususnya hubungan Iran dengan negara-negara di tetangganya dalam kawasan, kemudian Iran dengan intrusive states di kawasan tersebut khususnya AS yang memiliki kekuatan militer di Irak dan Afghanistan yang mengepung Iran dari dua arah.

1.2 Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan suatu tahapan permulaan dari penguasaan masalah dimana suatu objek dalam suatu situasi tertentu dapat kita kenali sebagai masalah. Identifikasi masalah adalah upaya untuk menjelaskan suatu fenomena pada situasi tertentu, untuk memudahkan dalam identifikasi masalah diperlukan adanya suatu model penjelasan (Suriasumantri, 1998: 309).
Ahmadinejad terpilih menjadi Presiden Iran pada tahun 2005 yang kebetulan pada saat itu, agenda Amerika Serikat selanjutnya adalah untuk menguasai Iran setelah Irak dan Afghanistan. Amerika Serikat memasukkan Iran ke dalam Poros Setan (Axis of Evil) disamping Irak dan Korea Utara karena negara-negara ini dianggap memiliki potensi ancaman yang besar pada perdamaian dunia dan keamanan internasional dengan mengembangkan teknologi nuklir dan dikuatirkan akan berkembang menjadi upaya produksi senjata pemusnah massal seperti senjata biologi dan kimia yang akan membahayakan dunia umumnya, barat atau Amerika Serikat khususnya, selain itu Irak dan Iran dianggap oleh Amerika Serikat dan sekutunya sebagai negara yang mendukung terorisme internasional.
Mengenai masalah pengembangan teknologi nuklir, Iran bersikeras bahwa hal itu ditujukan untuk perdamaian yang digunakan sebagai sumber energi bukan digunakan untuk kepentingan militer seperti yang dituding Amerika Serikat. Alasan Amerika Serikat juga masuk akal mengingat pernyataan kontroversial Ahmadinejad mengenai holocaust yang terjadi pada Perang Dunia II oleh NAZI hanyalah mitos belaka. Pernyataan ini menyakiti perasaaan bangsa Yahudi dimana pada peristiwa itu bangsa Yahudi menjadi korban paling banyak sekitar 6 juta korban dan pernyataan Ahmadinejad yang menyerang Israel, sekutu terdekat AS di Timur Tengah bahwa seharusnya Israel dilenyapkan dari peta dunia sehingga Israel dan Amerika Serikat merasa terancam dan terganggu kepentingannya di Timur Tengah.
Iran yang bertetangga dengan Irak mendukung militan Irak dalam melawan penjajah AS, oleh karena itu, Iran yang mengembangkan teknologi nuklir sebagai sumber energi dikuatirkan juga menggunakan teknologi tersebut untuk pengembangan senjata nuklir. Apalagi setelah dikembangkannya senjata rudal balistik Shahab-2 dan Shahab-3 yang mampu menjangkau beberapa kota di Asia, Eropa dan Afrika pada November 2006.
Mengutip dari pandangan Rahbar mengenai kinerja pemerintahan Iran dari beberapa masa ke masa berikutnya. Republik Islam Iran (RII) memperingati tanggal 24 hingga 30 Agustus sebagai Pekan Pemerintah, seiring dengan hari peringatan gugur syahidnya Presiden Iran, Muhammad Ali Rajaei, dan Perdana Menteri Iran, Muhammad Javad Bahonar. Kedua tokoh itu dikenal sebagai contoh pejabat pemerintah yang berjiwa kerakyatan, setia pada janji, penuh pengorbanan dan bekerja keras demi tegaknya Revolusi Islam. Tahun ini, Pekan Pemerintah kembali diperingati dengan berbagai program, antara lain pertemuan presiden dan para pejabat pemerintahan dengan Rahbar Revolusi Islam Iran. Dalam pertemuan ini, Presiden Iran menyampaikan laporan kinerjanya selama setahun terakhir dan Rahbar menyampaikan bimbingan dan pesan-pesan beliau kepada pemerintah.
Pemerintahan Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Dr Mahmud Ahmadinejad telah berjalan sekitar setahun. Di antara slogan kunci pemerintahan ini ialah berkhidmat kepada rakyat, serta menegakkan keadilan dan nilai-nilai Islam. Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam pertemuan ini mengingatkan kembali prinsip-prinsip dasar pemerintahan Islam secara ringkas, di antaranya, penegakan keadilan, mendekatkan diri kepada Tuhan dan Al Quran, menegaskan sikap ke-Islam-an, sederhana dan jauh dari kemubaziran, kepatuhan pada hukum, kecintaan kepada rakyat, rendah hati, dan berpikiran terbuka.
Di antara poin yang menjadi fokus utama pemerintahan Ahmadinejad ialah keadilan dan penghapusan diskriminasi dalam berbagai bidang. Sepanjang setahun yang lalu, pemerintah telah berusaha keras untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat. Sejak memegang tampuk kepresidenan hingga kini, Doktor Ahmadinejad telah melakukan kunjungan ke berbagai propinsi, kota besar dan kota kecil, terutama kota-kota yang tertinggal pembangunannya. Dalam kunjungan ini, Presiden mengadakan rapat kabinet dengan mengikutsertakan pejabat daerah. Agenda rapat itu adalah menelaah berbagai masalah di daerah tersebut dan mencari jalan keluarnya. Dalam rapat kerja presiden itu, disusunlah berbagai program pembangunan dan anggaran yang diperlukan untuk membiayai program tersebut. (http://indonesian.irib.ir)
Berbeda dengan masa pemerintahan sebelumnya yang dipimpin oleh Mohammad Khatami, Presiden Ahmadinejad memiliki pandangan berbeda mengenai program nuklir dan diketahui pernah bertengkar dengan Khatami karena mengkritik Khatami di depan umum untuk tidak mengetahui masalah sehari-hari warga Iran. Yang kemudian mengakibatkan tidak diundangnya Ahmadinejad dalam pertemuan Dewan Menteri, suatu hak yang biasa diberikan kepada para walikota Teheran dua tahun sebelum menjabat presiden Iran. Ahmadinejad memiliki latar belakang berbeda dengan pemimpin Republik Islam Iran sebelumnya yang merupakan anggota mullah atau pemimpin keagamaan. Ahmadinejad adalah seorang teknokrat dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi

1.2.2 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan upaya untuk menetapkan batas-baas permasalahan dengan jelas yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasikan faktor mana saja yang termasuk dalam lingkup permasalahan dan faktor mana yang tidak (Suriasumantri, 1998: 311).
Level of Analysis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu (individual level) yaitu Mahmoud Ahmadinejad sebagai seorang pemimpin negara dan bangsa Iran. Ahmadinejad menjadi pusat penelitian karena Ahmadinejad dengan segala latar belakang pendidikan, budaya, agama, keluarga dan lingkungannya yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan luar negeri Iran yang berdasarkan pada kepentingan nasional Iran.
Penelitian ini akan memiliki ruang lingkup pembahasan terhadap masalah yang diteliti. Dimulai pada saat Ahmadinejad dipilih menjadi Presiden Iran pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 beserta dengan kebijakan-kebijakan luar negeri dalam bidang politik, militer dan iptek yang dikeluarkannya selama masa tersebut akan menjadi batasan masalah yang akan diteliti oleh penulis.


1.2.3 Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan penelitian apa saja yang spesifik dan perlu dijawab (Suriasumantri, 1998: 312). Perumusan masalah merupakan penjabaran dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah (Husaini Usman, 1988: 29).
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah diatas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
”Bagaimana peranan Ahmadinejad sebagai Presiden Iran terhadap kebijakan luar negeri Iran dalam usahanya menciptakan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah?”

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian adalah mengenali ruang lingkup dan kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, setelah itu maka dibahas mengenai kemungkinan kegunaan penelitian yang merupakan manfaat yang dapat dipetik dari pemecahan masalah yang didapat dari penelitian (Suriasumantri, 1998: 313).

1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan peranan Ahmadinejad sebagai presiden Iran dalam menciptakan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah dalam kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2007.

1.3.2 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para peneliti Hubungan Internasional dalam mengkaji fenomena-fenomena Hubungan Internasional yang terjadi di kawasan Timur Tengah khususnya menyangkut masalah Iran dalam kepemimpinan Ahmadinejad.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa tambahan informasi dan data awal bagi studi-studi selanjutnya tentang Timur Tengah, khususnya Iran.
3. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk memberikan masukan mengenai bagaimana peranan Ahmadinejad dalam menciptakan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah.

1.4 Kerangka Pemikiran
Penyusunan kerangka bepikir dalam mengajukan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling berkaitan dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan (Suriasumantri, 1998: 128).


1.4.1 Pendekatan
Pendekatan dapat diartikan sebagai suatu cara untuk melihat dan kemudian menjelaskan suatu fenomena tertentu (Johari, 1995: 91). Menurut Van Dyke pendekatan terdiri dari kriteria-kriteria untuk menyelesaikan masalah dan data-data yang relevan dimana dimana metode-metode yang dihasilkan untuk mendapatkan dan menggunakan data-data (Van Dyke dalam Johari, 1995: 91). Menurut Mochtar Mas’oed, pendekatan adalah kriteria untuk memilih masalah yang hendak diteliti dan untuk menentukan data yang diperlukan bagi pembuktian dalam penelitian, bukan hanya kerena ia menentukan pemilihan dan perumusan masalah dan pengambilan data tetapi juga karena ia menuntun peneliti dalam merumuskan hipotesis, memilih metode penelitian serta dalam menafsirkan data (Mas’oed, 1990: 106).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem adaptif yang berdasarkan pada Rosenau. Menurut Rosenau, faktor-faktor atau sumber-sumber kebijakan luar negeri melalui dua kontinum, yakni dengan cara menempatkan sumber-sumber itu pada kontinu waktu (time continu) dan kontinu agresi sistematik (systemic agregation continu) (Rosenau. 1976: 18). Kontinu waktu meliputi sumber-sumber yang cenderung bersifat mantap dan berlaku terus-menerus dan tetap, dan sumber-sumber yang dapat dipengaruhi oleh fluktuasi jarak pendek, dan sumber-sumber yang dapat berubah (Moch. Yani. 2005: 56). Menurut Rosenau sumber-sumber utama yang menjadi inputdalam kebijakan luar negeri adalah, sumber sistemik yang bersal dari lingkungan eksternal dari suatu negara, sumber masyarakat merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal, sumber pemerintahan merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan struktur dalam pemerintahan dan sumber idiosinkratik yang merupakan sumber internal yang melihat pada pengalaman, nilai-nilai, bakat, serta kepribadian elit politik.
Secara sederhana model sumber-sumber yang mempengaruhi kebijakan luar negeri menurut Rosenau dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti di bawah ini. Model ini dikenal dengan nama model Adaptif karena model ini meneliti kebijakan luar negeri yang fokus pada bagaimana negara-negara memberikan respon terhadap kendala-kendala dan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh lingkungannya ( Moch. Yani. 2005: 66)


Model Adaptif Politik Luar Negeri
Sumber: James N. Rosenau, Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Methods. New York: Sage Publications, 1974, hal 47.

Model ini berupaya memisahkan beberapa pilihan politik luar negeri berdasarkan perkiraan kapabilitas yang dimiliki suatu negara dan posisi geopolitiknya. Menurut model ini politik luar negeri merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal dan lingkungan internal (perubahan struktural). Dengan kata lain, tindakan politik luar negeri suatu negara pada waktu tertentu merupakan penjumlahan dua variabel independen, yaitu perubahan eksternal dan perubahan struktural (internal). Dalam perspektif ini semua negara-bangsa dapat dipandang sebagai suatu entitas yang selalu melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Maka analisis perpektif adaptif ini memusatkan perhatiannya pada proses tindakan adaptasi suatu negara sebagai satu respon terhadap lingkungan eksternal dan internalnya yang berubah dengan berpijak pada penilaian dari negara tersebut akan kapabilitas yang dimilikinya, posisi geografi dan sebagainya (Moch. Yani. 2005:67).
Secara khusus, Rosenau menyatakan bahwa politik luar negeri pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme untuk negara-negara beradaptasi terhadap perubahan-perubahan di lingkungannya. Maka itu, pemerintah dalam bertahan hidup dan mencapai tujuan nasionalnya harus menyeimbangkan tekanan internal dengan tuntutan eksternal dimana proses penyeimbangan ini mempunyai resiko tinggi dan bahkan kemungkinan disintegrasi. Perubahan-perubahan di dalam politik luar negeri sering terjadi ketika perkembangan-perkembangan di lingkup internal makin meningkatkan tuntutannya berkenaan dengan kondisi di lingkungan eksternal, atau ketika perkembangan di lingkungan eksternal dianggap mempunyai potensi ancaman bagi keberadaan negara-bangsa tesebut akhirnya kondisi tekanan dari kedua lingkungan tersebut diproses di dalam benak para pembuat keputusan yang bertindak untuk meminimalkan resiko dan memaksimalkan peluang-peluang berdasarkan pada persepsi para pembuat keputusan mengenai kondisi lingkungan di sekitar mereka (Moch. Yani. 2005: 68)
Rosenau memunculkan empat kemungkinan pola adaptasi politik luar negeri dari suatu negara sebagai respon atau hambatan-hambatan dari lingkungan domestik dan internasional yang dihadapi oleh para pembua keputusan. Keempat pola adaptasi luar negeri tersebut adalah : preservation adaptation (responsive to both external and internal demands and changes), acquiescent adaptation (responsive to external demands and changes), intrasignent adaptation (responsive to internal demands and changes), promotive adaptation ( unresponsive to both internal and estenal demands and changes) (Moch yani. 2005:68).
Ahmadinejad dalam membuat keputusannya menggunakan salah satu pola adaptasi politik luar negeri dari Rosenau yaitu preservation adaptation. Dalam menangani kebutuhan sumber energi dalam negeri yang tak terbatas dan murah maka program teknologi nuklir untuk perdamaian dipertahankan sedangkan untuk meyakinkan egara dunia khususnya Dewan Keamanan PBB, Ahamadinejad melakukan upaya diplomasi dan kunjungan ke egara-negara sahabat termasuk pemerintah Indonesia yang merupakan anggota Dewan Keamanan tidak tetap dalam rangka mendapatkan dukungan pada program teknologi nuklir untuk perdamaian.
Selain melakukan kunjungan ke pemerintah Indonesia, Ahmadinejad juga melakukan upaya diplomasi aktif di kawasan Timur Tengah. Melihat bahwa semakin dekatnya OKI akan menggelar egara darurat membahas transformasi terbaru Timur Tengah tahun 2006, maka perlu sekali para pejabat egara-negara Islam berunding untuk menemukan langkah-langkah praktis mengakhiri krisis ini. Selama ini Iran telah membuktikan sikapnya yang selalu bersedia membantu penyelesaian krisis yang ada di kawasan ini. Oleh sebab itu, Menlu Perancis menyatakan bahwa Iran dapat memainkan peran penting dalam menjamin keamanan dan stabilitas di Timur Tengah. Sekjen PBB, Kofi Annan, juga meminta kepada Iran agar ikut aktif dalam berusaha menyelesaikan krisis Timur Tengah. Akan tetapi semua upaya diplomasi Iran dijegal oleh AS yang berusaha mendepak Iran keluar dari masalah Timur Tengah (http://www.irib.com).

1.4.2 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual terdiri dari sejumlah konsep yang saling menjalin dan disusun secara sistematis untuk memberikan suatu kerangka pengoranisasian analisis yang penting bagi suatu rancangan penelitian atau karya ilmiah. Tidak ada pola atau kerangka konseptual yang dapat dipakai secara universal, masing-masing harus dirancang untuk penelitian yang akan dilakukan (Plano, 1999: 9).
Hubungan internasional merupakan suatu hubungan atau interaksi yang dilakukan oleh negara-negara, individu-individu atau organisasi-organisasi yang melewati batas-batas wilayah atau teritori nasionalnya. Negara sebagai salah satu aktor dalam hubungan internasional dan dalam hal ini sebagai aktor utama menurut realis harus melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan negara dalam memenuhi semua kebutuhannya dan kepentingannya secara mandiri yang dikarenakan oleh keterbatasan-keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Oleh karena itu setiap negara didunia ini membutuhkan suatu bentuk kerjasama dengan negara lainnya dalam usaha pemenuhan kebutuhan dan kepentingannya.
Adapun negara itu sendiri adalah merupakan bentuk tertinggi dari suatu organisasi manusia, yang mana tidak mengakui adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi darinya, sehingga dengannya maka negara mempunyai kedaulatan penuh dalam mengatur dirinya. Suwardi Wiriaatmadja dalam bukunya Pengantar Hubungan Internasional mengatakan bahwa negara adalah suatu kumpulan atau masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dan diorganisir secara politik dibawah suatu pemerintahan (Wiriatmadja, 1970: 55).
Kebijakan luar negeri merupakan sebuah sarana bagi negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya di lingkungan eksternal. Kebijakan luar negeri adalah semua sikap dan aktifitas yang melalui itu masyarakat nasional yang terorganisasi berusaha untuk menguasai dan mengambil keuntungan dari lingkungan internasional (all the attitude and activities through which organized nation society seeks to cope with and benefit from international environment) (Rosenau, 1976:27).
Kebijakan luar negeri (foreign policy) merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam kepentingan nasional.
Kepentingan nasional pada intinya melukiskan suatu aspirasi yang dipakai secara operasional dalam perumusan kebijakan politik, dimana kebijakan tersebut menjadi sarana perantara dalam mencapai tujuan nasional dan sasaran dalam wujud yang nyata, yaitu melalui konsep kebijakan luar negeri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa politik luar negeri merupakan alat suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional dan harus sesuai dengan tujuan nasional serta sasaran-sasarannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang (Kusumaatmadja, 1983 : 152). Kepentingan nasional terbagi kedalam beberapa jenis yaitu:
1. Kepentingan Nasional Inti, merupakan kepentingan nasional yang mendorong pemerintah dan bangsa melakukan eksistensinya dalam mepertahankan atau memperluas tujuan sepanjang waktu (untuk mencapai nilai atau kepentingan ini bisa dilakukan dengan atau tanpa menekan negara lain)
2. Kepentingan Nasional Jangka Menengah, kepentingan nasional ini biasanya menekankan tuntutannya pada negara lain (komitmen untuk mencapai tujuan ini bersifat serius dan biasanya tujuan ini memiliki beberapa pembatasan).
3. Kepentingan Nasional Jangka Panjang, kepentingan nasional ini jarang memiliki batasan waktu dalam pencapaiannya. Dalam kenyataan para negarawan jarang sekali menempatkan nilai tertinggi dalam kepentingan jangka panjang dan mereka tidak akan menggunakan kemampuan nasional atau kebijaksanaan nasional untuk mencapainya, kecuali jika sasaran yang hendak dicapai penting sekali sifatnya bagi ideologi (Plano. 1999:5)
Menurut Howard H. Lentner, ada dua faktor yang mempengaruhi atau determinan dalam perumusan kebijakan luar negeri suatu negara, yaitu:
1. Internal/domestik determinan, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam negara itu sendiri yang menjadi bagian dari kepentingan nasional dan harus diperhitungkan dalam upaya pencapaian tujuan nasional keluar.
2. Eksternal determinan, yaitu faktor-faktor yang terdapat diluar batas teritorial suatu negara atau didalam suatu lingkungan internasional (Lentner, 1974: 105-170)
Selain dari dua determinan di atas, masih terdapat dua determinan lain yang dapat menjadi sumber-sumber input kebijakan luar negeri yaitu: governmental sources dan idiosyncretic sources. Sumber pemerintahan merupakan salah satu bagian dari sumber internal yang menjelaskan mengenai pertanggungjawaban politik dan struktur dalam pemerintahan. Sumber idiosinkretik merupakan salah satu bagian dari sumber internal lainnya yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat, serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri (Moch. Yani. 2005: 57).
Elit politik yang secara langsung terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri suatu negara adalah kepala negara atau presiden. Presiden adalah figur utama dalam sistem pemerintahan, panglima tertinggi angkatan bersenjata dan mewakili bangsa dalam berhubungan dengan negara lain. Dalam bidang urusan luar negeri wewenang presiden diperoleh dari gabungan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan bersama dengan kekuatan bangsa yang dipimpinnya. Presiden dalam kebanyakan perannya berfungsi sebagai formulator kebijakan luar negeri dan merupakan juru bicara paling handal dalam hubungan internasional.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa peranan yang dimiliki dan dijalankan oleh seorang pemimpin negara (presiden), sebagai berikut:
1. Chief of State, peranan presiden sebagai Kepala Negara yang merepresantasikan negaranya dalam forum internasional. Sebenarnya peran ini lebih merupakan peran simbolik yang membuat presiden dapat mempromosikan, menyampaikan, dan mewakili nilai-nilai negara yang dipimpin dalam kegiatan public (http://www.c-span.org).
2. Chief of Diplomat, merupakan peranan presiden sebagai perunding tingkat tinggi dengan negara lain. Presiden dapat mengirimkan dan menerima duta besar, memberi atau menunda pengakuan, memutuskan hubungan diplomatik, merundingkan perjanjian, dapat mengerahkan kekuatan bangsa untuk mendukung kebijakan luar negerinya (Plano. 1999:334).
3. Chief Executive, presiden adalah kepala eksekutif, memiliki kewenangan membuat hukum dan menangani masalah-masalah kenegaraan. Apabila presiden tidak dapat membuat hukum tertentu, maka para pembantu presiden (menteri) mengambil tanggung jawab dan kewenangan untuk menjalankan hukum tersebut (http://www.c-span.org).
4. Chief Legislator, merupakan suatu konsep yang menekankan pentingnya peranan presiden dalam proses legislatif. Peran presiden sebagai kepala legislator penting sekali dalam urusan luar negeri maupun domestik, karena kebijakan luar negeri memerlukan dukungan legislatif dan penerapan yang didukung oleh hukum (Plano. 1999:335).
5. Chief of Foreign Policy, merupakan peran pemerintahan sebagai pembuat kebijakan tertinggi dibidang urusan luar negeri. Peran ini menuntut presiden untuk bertanggungjawab atas keamanan dan kemakmuran bangsa dalam rangka memaksimalkan kepentingan nasional. Tugas kepemimpinan presiden di bidang urusan luar negeri mencakup perancangan legislasi, menjalankan diplomasi pribadi, pidato umum, konferensi pers, dan pemberitaan melalui surat kabar (Plano. 1999:336).
6. Commander in Chief, merupakan peran kepala pemerintahan sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata (Plano. 1999:337).
Kebijakan luar negeri yang telah diputuskan oleh suatu negara dapat dijalankan atau dilaksanakan melalui beberapa sarana kebijakan luar negeri. Sarana-sarana yang dapat digunakan oleh negara dalam melakukan aksi kebijakan luar negerinya, secara umum dapat dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu:
1. Political means, yaitu tindakan dari suatu negara yang dilakukan dengan cara mengirimkan orangnya ke negara-negara lain untuk mempegaruhi tokoh-tokoh politik di negara itu demi untuk kepentingan dari negara yang mengirimnya tersebut.
2. Diplomatic means, yaitu cara-cara diplomasi yang digunakan sebagai sarana utama dalam politik luar negerinya.
3. Informatical means, yaitu aksi yang dilakukan oleh suatu negara dengan menggunakan media komunikasi sebagai sarana politik luar negerinya, yang diarahkan kepada masyarakat negara lain atau dunia internasional demi untuk mencapai kepentingan dari negara yang melakukan aksi tersebut.
4. Military means, yaitu penggunaan kekuatan militer sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik suatu negara ke negara lain (Lentner, 1974: 113-7)

1.4.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya dan guna memberikan gambaran bagi penulis terhadap penelitian yang dilakukan, khususnya dalam proses pengumpulan data serta untuk memudahkan proses pengambilan kesimpulan terhadap penelitian ini, maka suatu hipotesis sangatlah dibutuhkan.
Hipotesis adalah dugaan atau kesimpulan sementara terhadap suatu masalah yang dihadapi atau yang ingin diteliti yang masih perlu diuji kebenarannya. Adapun hipotesis yang penulis ajukan adalah sebagai berikut:
“Peranan Ahmadinejad terhadap kebijakan luar negeri Iran dalam usahanya menciptakan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah dalam masa sejak terpilihnya menjadi Presiden Iran 2005-2007 adalah sebagai Chief of Foreign Policy”.



1.4.4 Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah serangkaian prosedur yang mendeskripsikan kegiatan yang arus dilakukan kalau kita hendak mengetahui eksistensi empiris atau derajat eksistensi empiris suatu konsep. Melalui definisi seperti itu maka suatu konsep dijabarkan, dengan demikian maka definisi operasional berarti juga menjabarkan prosedur pengujian yang memberikan kriteria bagi penerapan konsep itu secara empiris (Mas’oed, 1990: 100).
Untuk memahami dan mengukur variabel-variabel yang terdapat dalam hipotesis maka variabel-variabel tersebut akan didefinisikan secara operasional sebagai berikut:
1. Peranan Ahmadinejad terhadap kebijakan luar negeri Iran adalah sebagai Chief of Foreign Policy, dengan indikator sebagai berikut:
- Ahmadinejad sebagai seseorang yang menduduki posisi kepala negara yaitu presiden maka secara otomatis memiliki kewenangan dan peran dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri.
- Sejak terpilihnya Ahmadinejad sebagai presiden Iran, ia muncul sebagai sosok yang sangat fenomenal dan patriotik dalam berbagai pernyataan, kegiatan dan teladannya terhadap dunia.
- Ahmadinejad sebagai seorang presiden dari negara berkembang seperti Iran mampu menentang barat dan sekutunya sehingga ia dijadikan sebagai simbol kebebasan terhadap arogansi dan tirani negara-negara barat.
2. Kebijakan luar negeri Iran dalam menciptakan kekuatan baru di Timur Tengah dapat dilihat beberapa indikator sebagai berikut:
- Di kawasan Timur Tengah, Iran muncul sebagai salah satu negara yang menarik perhatian sangat besar dari negara-negara dunia khususnya dari negara barat karena Iran merupakan negara yang cenderung bersikap konfrontatif dengan kebijakan-kebijakan negara barat.
- Pemerintah Iran merupakan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang tetap dengan konsistensinya dalam melanjutkan program pengembangan teknologi nuklir damainya tanpa mempedulikan berbagai kecaman dari Barat (seperti Amerika Serikat dan PBB).
- Pemerintahan Iran adalah yang paling lantang dalam menyuarakan pengusiran bahkan penghapusan bangsa Yahudi atau negara Israel di wilayah Timur Tengah karena Israel dipandang sebagai biang dari konflik yang selama ini sering terjadi di kawasan tersebut, sementara dilain pihak Israel merupakan perwakilan kepentingan Barat di Timur Tengah dan Amerika Serikat merasa perlu untuk melindungi negara sekutunya tersebut.
- Iran sebagai salah satu negara yang mendukung berdirinya negara Palestina dan menolak pendudukan Zionis Israel di tanah Palestina dan berdirinya negara Israel. Dengan tidak adanya Israel maka diharapkan perdamaian Timur Tengah dan kemerdekaan penuh Palestina dapat terwujud.

1.5 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1.5.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, dimana metode ini tidak menyandarkan bukti berdasarkan logika matematik, prinsip angka atau metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia, dan menganalisis kualitas-kualitasnya (Mulyana. 2000: 150).
Jenis penelitian adalah deskriptif analitik mengemukakan ciri-ciri dari suatu gejala atau masalah yang diteliti dalam satu situasi untuk kemudian menganalisa gejala atau masalah tersebut terjadi. Penggambaran dalam metode deskriptif berhubungan dengan apa, siapa, bilamana, dimana, dan bagaimana suatu gejala terjadi dan berusaha mendapatkan dan menyampaikan fakta-fakta dengan jelas, teliti, dan lengkap (Silalahi, 1999: 100)

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggali teori-teori yang berkembang dalam bidang ilmu yang berkaitan, mengumpulkan data-data yang berasal dari buku-buku, pemberitaan media massa dan berita-berita internet yang relevan dengan masalah yang diteliti.
1.6 Lokasi dan Lama Penelitian
1.6.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini direncanakan akan dilakukan dibeberapa tempat serta instansi terkait, yaitu:
1. Perpustakaan FISIP UNPAD Jatinangor, Sumedang.
2. Perpustakaan FISIP UNPAD Kampus Bukit Dago Bandung.
3. Perpustakaan Mandiri HIMA Hubungan Internasional Kampus Bukit Dago Bandung.
4. Perpustakaan UPT UNPAD Bandung.
5. Perpustakaan Universitas Katolik Parahyangan, Jl. Ciumbuleuit No. 94, Bandung.
6. Perpustakaan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, Jl. Pejompongan No. 6, Jakarta Pusat.

1.6.2 Lama Penelitian
Waktu penelitian yang dibutuhkan dari mulai pra-penelitian sampai dengan akhir penelitian ini yaitu sejak bulan Januari 2007 dan direncanakan selesai pada Agustus 2007, untuk lebih jelasnya penulis membuat time schedule, sebagai berikut:

AKTIVITAS WAKTU PENELITIAN
Apr
07 Mei
07 Jun
07 Jul
07 Ags
07 Sep
07 Okt
07 Nov
07
1 Pra Penelitian
- Pencarian Data Umum
- Pengajuan Judul
- Penunjukan Dosen Pembimbing
2 Penelitian
- Pencarian Data Tambahan
- Pembuatan BAB I (Usulan Penelitian)
3 Bimbingan Usulan Penelitian Serta Pencarian Data Tambahan
4 Seminar Usulan Penelitian
5 Pembuatan dan Bimbingan Skripsi (BAB II, III, IV, dan V)
6 Sidang Draft
7 Sidang Skripsi

1.7 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang merupakan penyesuaian dengan proses pembahasan yang dibutuhkan. Sistematika penulisan penelitian adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan, pada bab ini dipaparkan tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, pendekatan, kerangka konseptual, kerangka analisis, metode penelitian dan teknik pengumpulan data serta lokasi dan waktu penelitian.
BAB II : Tinjauan Pustaka, pada bab ini dipaparkan tinjauan teori dan konsep yang relevan dengan masalah yang diteliti. Juga dilengkapi dengan data sekunder yang didapat dan digunakan peneliti untuk terlaksananya penelitian ini.
BAB III : Objek Penelitian, pada bab ini dipaparkan aspek-aspek umum dan khusus yang berkaitan dengan fenomena dan variabel penelitian yang hendak dibahas dan kemudian dapat digunakan sebagai gambaran kondisi yang mendorong timbulnya masalah yang diteliti.
BAB IV : Pembahasan, pada bab ini dipaparkan mengenai uraian analitis tentang hubungan yang relevan antara poin-poin dan data deskriptif kronologis dan variabel-variabel yang ada.
BAB V : Kesimpulan dan Saran, pada bab ini dipaparkan kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya, yang kemudian dilanjutkan juga dengan pemberian saran-saran baik untuk bidang keilmuan ataupun kegunaan praktis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Internasional
Hubungan Internasional secara harfiah berasal dari kata International Relations yang diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia. Secara sederhana Hubungan Internasional berarti hubungan-hubungan yang terjadi antar negara atau bangsa yang saling mempengaruhi satu sama lain, namun untuk mengartikan Hubungan Internasional tidak cukup hanya melihat dari segi bahasa saja, diperlukan kajian yang lebih dalam lagi agar kita dapat mendapatkan pengertian Hubungan Internasional yang lebih lengkap lagi.
Menurut Paul R. Viotti dan Mark V. Kaupi, dalam bukunya International Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond, mengatakan bahwa:
”Hubungan internasional adalah interaksi penuh yang berupa politik, sosial, ekonomi, budaya dan bentuk interaksi lainnya yang terjadi antara aktor negara dengan aktor non negara” (Viotti dan Kaupi. 1997: 483).
Menurut Joshua S. Goldstein:
“IR is an unpredictable realm of turbulent processes and events that catch the entire expert by surprise” (Goldstein, 1999:7).
Menurut Peter A. Toma dan Robert F. Gorman, yaitu :
“International Relations flow from contacts and international interactions among countries, such as a political interaction among governments, such as wars, alliances, diplomatic relations, negotiations, and threats of military force” (Toma dan Gorman. 1991: 11)

Robert Strausz-Hupe dan Stefan T. Possony menyatakan bahwa Hubungan Internasional mempelajari hubungan timbal balik antar negara, serta mengkaji tindakan anggota satu masyarakat yang berhubungan dengan, atau ditujukan kepada masyarakat negara lain. Sedangkan Sprout dan Sprout menyatakan bahwa Hubungan Internasional membahas mengenai aktor-aktor (negara, pemerintah, pemimpin,diplomat, masyarakat) yang bertujuan mencapai maksud-maksud tertentu dengan menggunakan sarana-sarana (seperti diplomasi, pemaksaan, persuasi) yang dikaitkan dengan Power atau kapabilitasnya (Sprout & Sprout dalam Bakry,1999: 4).
Selanjutnya, menurut Steve Chan, mendefenisikan hubungan internasional sebagai interaksi antar aktor-aktor atau kondisi-kondisi yang memiliki konsekuensi penting terhadap aktor lain di luar batas-batas yuridiksi efektif dari unit-unit politik (Chan, 1984: 5). Hubungan Internasional terjadi karena adanya kontak dan interaksi antar negara seperti interaksi politik antar pemerintah, misalnya perang, aliansi, hubungan diplomatik, negosiasi dan ancaman kekuatan militer.
Setelah mengambil beberapa defenisi dari hubungan internasional, menurut Steve Chan setidaknya ada empat kata kunci dalam memahami hubungan internasional, yaitu:
1. Interaksi, yang menyatakan hubungan resiprokal atau mutual. Hal ini secara tidak langsung mengatakan bahwa hubungan internasional dibangun dari sedikitnya dua aktor.
2. Bangsa, yang menyatakan bahwa peristilahan yang digunakan untuk menyatakan adanya hubungan antar bangsa dalam istilah hubungan internasional tidaklah selalu tepat dalam menggambarkan fenomena.
3. Batas, yang menyatakan bahwa perbedaan antara interaksi domestik dan luar negeri dibedakan pada dampak terhadap unit-unit lain diluar batas yuridiksi nasionalnya.
4. Aktor secara umum, yang dinilai berdasarkan tindakan atau kondisi yang melingkupi aktor yang bersangkutan (Chan, 1984: 5-6).
Jadi, Hubungan Internasional adalah studi yang mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi di dunia secara keseluruhan baik itu terjadi saat ini, di masa lampau, dan masa yang akan datang yang dilakukan oleh tiap-tiap negara atau antar bangsa atau aktor-aktor non negara, baik itu melalui hubungan secara diplomatik ataupun secara militer dalam artian peperangan bahkan aspek ekonomi seperti transaksi antar negara pun menjadi kajian Hubungan Internasional. Dan secara sederhana Hubungan Internasional dapat diartikan sebagai segala bentuk interaksi antara anggota suatu negara satu dengan anggota negara yang lain, baik itu sebagai pemerintah ataupun bukan sebagai pemerintah.

2.2 Kebijakan Luar Negeri
2.2.1 Pengertian Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy) merupakan strategi yang dipakai oleh pemerintah suatu negara untuk membimbing tindakan atau aksi mereka di arena internasional. Foreign policies are the strategies used by goverments to guide their actions in the international arena (Goldstein. 1999:147).
Kebijakan luar negeri termasuk dalam cakupan studi Hubungan Internasional. Mengenai hal ini James N.Rosenau menjelaskannya bawa :
“Studi Hubungan internasional mencakup analisis kebijakan luar negeri (foreign policy) atau proses-proses politik diantara negara-negara. Fenomena-fenomena yang melewati (transcend) batas-batas negara seperti mengirimkan surat-surat diplomatik, menyatakan suatu doktrin, membentuk suatu tujuan (objective) jangka panjang, semua merupakan output kebijakan luar negeri. Dimana yang dimaksud dengan output kebijakan luar negeri adalah tindakan-tindakan atau ide-ide yang dirancang oleh para pembuat keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mempromosikan beberapa perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan-kebijakan,sikap-sikap, atau tindakan-tindakan suatu atau beberapa negara” (Rosenau,1976:16).

Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global.
Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.
Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga.
Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.
Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif. (Jensen. 1982: 5-11).
Kebijakan luar negeri terbagi atas tiga tingkatan yaitu; orientasi, strategi dan aksi. Orientasi merupakan suatu bentuk pendapat atau pemikiran yang dimiliki oleh decision maker yang dapat mengarahkan strategi dan aksi kepada suatu tujuan kebijakan luar negerinya. Strategi adalah rencana yang dimiliki oleh decision maker untuk melakukan aksi kebijakan luar negeri. Sedangkan aksi adalah manifestasi dari orientasi dan strategi dalam bentuk suatu tindakan nyata.

2.2.2 Determinan Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri dipandang sebagai seperangkat keputusan otoritatif diambil atas nama negara dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam konteks nasional. Dengan kata lain, kata luar negeri dalam kebijakan luar negeri mengacu pada segala sesuatu yang berada di luar batas wilayah suatu negara, sedangkan kata kebijakan, didefinisikan sebagai suatu panduan untuk bertindak yang dimaksudkan untuk merealisasi tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan.
Salah satu cara untuk memahami kebijakan luar negeri yaitu dengan menentukan bagaimana negara-negara yang berbeda membuat keputusan mengenai kebijakan luar negeri lalu memperbandingkan metode-metode ini. Dengan kata lain, perilaku kebijakan luar negeri dapat dianalisa dalam konteks keteraturan dan pola-pola yang berasal dari struktur dan proses pembuatan kebijakan luar negeri yang sama.
Menurut James N. Rosenau, terdapat lima sumber yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara, diantaranya adalah :
1. Idiosinkretik, berhubungan dengan karakteristik individu dari pembuat keputusan.
2. Govermental, faktor pemerintahan.
3. Societal, faktor masyarakat.
4. Peran , dari pembuat keputusan tersebut.
5. Sistemik
(Rosenau, 1976: 115).
Sedangkan menurut Toma dan Gorman, kelima sumber tersebut diringkas menjadi tiga faktor, yaitu:
1. Faktor Sistemik, yaitu meneliti faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi suatu negara dalam sistem internasional. Faktor sistemik merupakan hal-hal yang mempengaruhi kebijakan suatu negara yang muncul dari lingkungan internasional, seperti keadaan geografi, peristiwa internasional yang terjadi di luar negara dan karakteristik struktural dari sistem global.
2. Faktor Atribut Nasional, meneliti faktor internal suatu negara. Atribut Nasional mencakup pengaruh demografi, ekonomi, militer dan pemerintahan. Jika faktor sistemik muncul dari lingkungan eksternal, maka faktor atribut nasional ini timbul dari lingkungan domestik suatu negara.
3. Faktor Idiosinkretik, meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan karakteristik pribadi dari pembuat keputusan suatu negara. Bagaimanapun situasi suatu negara dalam lingkungan internasional atau atribut nasionalnya, apakah pemerintahannya terbuka atau tertutup, ekonominya lemah atau kuat, kebijakan luar negerinya dipandang dibuat sepenuhnya oleh individual, bertanggung jawab untuk keputusan otoritatif. Menurut argumen ini, individu pembuat keputusan mampu membentuk kejadian di dunia, maka dari itu kita harus memahami peranan mereka dalam proses kebijakan luar negeri.
Tidak semua pembuat keputusan melihat lingkungan mereka dengan cara pandang yang sama. Hal ini bergantung pada sistem perseptual mereka, apa yang benar menurut seorang pembuat keputusan, mungkin tidak benar menurut pembuat keputusan yang lain pembuat keputusan, dalam kondisi normal, tidak merespon terhadap fakta objektif dari satu situasi, tetapi merespon terhadap gambaran mereka terhadap situasi tersebut.
Tipe lain dari variabel level individu ini yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri termasuk didalamnya seperti kompleksitas kognitif, dogmatisme, menempatkan motif pribadi teradap objek publik, dan perilaku ego-defensif. Apakah individu tersebut aktif atau pasif, positif atau negatif, toleran atau mendominasi, rasional atau impulsif. Semua hal ini dapat memiliki implikasi untuk suatu keputusan kebijakan luar negeri.
Lebih lanjut lagi, para pembuat keputusan menunjukkan sifat kepribadian mereka terhadap dunia disekitar mereka. Apakah seorang pemimpin politik lebih memilih mengambil resiko untuk bekerjasama atau berperang, bergantung pada kepribadian mereka. Menurut sebuah studi, kebijakan luar negeri suatu negara cenderung untuk lebih agresif dalam kasus dimana pembuat keputusannya memiliki kebutuhan kuat untuk menunjukkan kekuatan dalamm memiliki ideologi atau pandangan hitam atau putih mengenai teman dan penasehat mereka.
Ketika para pembuat keputusan memilih pandangan yang lebih kompleks mengenai dunia, maka kebijakan pemerintahannya mereka akan cenderung untuk lebih menerima kerjasama (Toma & Gorman,1999 : 121-130).
Dari penjelasan sebelumnya, kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh faktor objektif (sistemik dan atribut nasional) dan subjektif (idiosinkretik). Untuk lebih jelas lagi lihat tabel 2.1 yang menunjukkan determinan perilaku suatu negara berikut ini :
Tabel 2.1 Determinan dari Perilaku Negara Bangsa

Faktor Karakteristik
a. Objektif
1.Sistemik

2. Atribut Nasional
- Geografi : mencakup ukuran,lokasi, topografi, iklim.
- Interaksi Internasional : hubungan diplomatik, transaksi perdagangan, perjalanan pertukaran budaya, kerjasama regional.
- Struktur Sistem Internasional : aliansi, koalisi, organisasi internasional dan perjanjian regional.

- Demografi : mancakup ukuran, motivasi sumber daya manusia, tingkat pendidikan, homogenitas populasi.
- Ekonomi : ukuran kekayaan, tingkat perkembangan dan produktivitas,model atau organisasi.
- Militer : biaya pengeluaran militer, ukuran angkatan bersenjata, ukuran dan jenis senjata, tingkat SDM, penelitian dan pengembangan.
- Pemerintahan : sistem politik terbuka, organisasi birokrat, akuntabilitas politik, partai politik, struktur sosial, tekanan sosietal (kelompok kepentingan, opini publik, media).
b. Subjektif
1. Idiosinkretik
Kepribadian pemimpin : mencakup lingkungan psikologikal, kemampuan fisik dan mental, kepribadian, pengalaman, norma-norma nilai budaya, perilaku dan sistem kepercayaan.
(sumber : Toma dan Gorman,1999 :132)
2.3 Pendekatan Sistem Dalam Kebijakan Luar Negeri
Masalah yang kompleks dari kebijakan luar negeri dapat digambarkan dengan menggunakan metafora sebuah sistem (Clarke,1992:22). Menurut Johari, fokus utama pendekatan sistem adalah sistem yang didefinisikan sebagai suatu daerah yang memiliki batas ruang dan waktu, meliputi pertukaran energi diantara bagian-bagian yang saling berhubungan secara fungsional dan diantara diri dengan lingkungannya (Johari,1985 : 31).
John P.Lovell dalam bukunya yang berjudul “Foreign Policy analysis : A Comparative and Conceptual Approach” menyatakan bahwa :
Pendekatan sistem dalam suatu kebijakan luar negeri meliputi tiga hal, yaitu :
1. Sistem terdiri atas sejumlah bagian yang secara bersama-sama mampu melaksanakan suatu aktifitas yang sangat penting.
2. Sistem terdiri atas keterhubungan fungsional antara komponen-komponen utamanya. Setiap komponen memiliki fungsi tertentu agar dapat tetap mempertahankan keutuhan sistem tersebut.
3. Sistem selalu berhubungan dengan lingkungannya.
Sebagai suatu sistem yang terbuka, sistem kebijakan luar negeri berinteraksi dengan lingkungannya dengan penerimaan input (lih.Lovell, 1970 : 214-216).
Seperti halnya sistem lain yang mencakup input, konversi dan output. Dalam proses kebijakan luar negeri juga terdapat suatu rangkaian input, konversi dan output yang membentuk suatu kesatuan. Dalam penelitian ini, input dari proses kebijakan luar negeri Iran adalah faktor sistemik, atribut nasional dan idiosinkretik.

2.4 Kepemimpinan Dan Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan sebagai aktivitas mempengaruhi perilaku orang lain, baik secara individu maupun kelompok agar melakukan aktivitas dalam usaha mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Drs.Ulbert Silalahi,1997:184).
Dari definisi tersebut terdapat beberapa faktor dalam berlangsungnya proses kepemimpinan, salah satunya adalah ada seseorang yang melakukan aktivitas mempengaruhi yang disebut pemimpin (leader). Kepemimpinan menurut Harold Koontz muncul dalam Ilmu Pengetahuan Sosial dengan tiga makna utama, yaitu :
1. Atribut suatu posisi (the atribute of a position)
2. Sifat seseorang (the characteristic of a person)
3. Kategori perilaku (the category of behavior).
Atribut suatu posisi yaitu kepemimpinan sebagai suatu posisi, menunjuk kepada kekuasaan dan wewenang yang berada pada posisi tertentu. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan dan wewenang saja yang bisa disebut pemimpin. Terdapat suatu hubungan erat antara posisi di satu pihak, dengan kekuasaan dan wewenang di pihak lain. Kekuasaan (power) merupakan konsep yang lebih luas.
Kekuasaan merupakan kemampuan yang dimiliki seorang individu atau kelompok untuk menggerakkan atau mempengaruhi kepercayaan atau tindakan orang lain atau kelompok. Adapun wewenang adalah kekuasaan yang ada dalam suatu posisi untuk melaksanakan kebijakan di dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi orang lain.
Dari berbagai penelitian tentang kepemimpinan, berkembang berbagai pendekatan atau teori kepemimpinan yang pada umumnya dapat diketegorikan atas :
1. Teori Sifat
Teori mempunyai dasar pemikiran, bahwa keberhasilan seseorang sebagai pemimpin ditentukan oleh kualitas sifat atau karakteristik tertentu yang dimiliki atau melekat dalam diri pemimpin tersebut, baik yang berhubungan dengan fisik, mental, psikologis, personalitas dan intelektualitas. Akan tetapi sifat dan karakteristik seorang pemimpin yang dianggap berhasil sangat heterogenistik dan bergantung pada lingkungan.
2. Teori Perilaku
Teori perilaku atau behavioral theory menpunyai dasar pemikiran bahwa kepemimpinan merupakan interaksi antara pemimpin dengan pengikut dan dalam interaksi tesebut, pengikut yang menganalisis dan membuat persepsi apakah menerima atau menolak pengaruh dari pemimpinnya.
Studi kepemimpinan melalui pendekatan perilaku, menghasilkan dua orientasi perilaku pemimpin, yaitu perilaku pemimpin yang berorientasi tugas (task orientation) atau yang mengutamakan penyelesaian tugas dan perilaku pemimpin yang berorientasi pada orang (people orientation). Perilaku pemimpin yang berorientasi pada tugas , mengarah pada gaya kepemimpinan otokratik. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada hubungan manusia, mengarah pada gaya kepemimpinan demokratis atau partisipatif.
3. Teori Situasional
Teori ini mempunyai dasar pemikiran bahwa efektivitas kepemimpinan tidak semata-mata bergantung pada perilaku atau gaya yang digunakan dalam interaksi pemimpin dengan pengikut, melainkan bergantung pada sifat-sifat situasi. Faktor-faktor situasi ini terdiri atas :
a. Hubungan pemimpin – pengikut
b. Struktur tugas
c. Kekuatan posisi pemimpin.
Lebih lanjut lagi, seorang pemimpin harus memiliki beberapa sifat yang menunjukkan kemampuan memimpinnya. Sifat-sifat pemimpin yang menyebabkan ia dipilih sebagai pemimpin oleh suatu kelompok sangat berhubungan erat dengan tujuan-tujuan kegiatan kelompok tersebut dan dengan kondisi-kondisi yang terdapat di lingkungan sekitar. Tiap-tiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga ciri, yaitu :
1. Persepsi Sosial, yaitu kecakapan untuk cepat melihat dan memahami perasaan-perasaan, sikap dan kebutuhan-kebutuhan anggota suatu kelompok ; untuk menjadi penyambung lidah anggota kelompok dan memberi pandangan serta patokan menyeluruh tentang keadaan di dalam dan di luar kelompok tersebut.
2. Kemampuan berpikir abstrak, yaitu mencakup kecerdasan umum dan kemampuan beradaptasi secara mental (mental adaptability). Hal ini berguna untuk ketajaman dan kemampuan menganalisis masalah-masalah yang terjadi serta mengintegrasi fakta-fakta interaksi sosial di dalam kelompok.
3. Kestabilan emosi, yaitu kemantapan emosi. Kematangan emosional berdasarkan pada kesadaran yang mendalam terhadap kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dan cita-cita anggota masyarakat dan untuk melaksanakan tugas kepemimpinan lainnya dengan wajar
(W.A Gerungen,2000:135-138).

2.5 Tipe-Tipe Pemimpin
Pembuatan kebijakan luar negeri sebagian besar dilakukan oleh institusi pada negara-negara maju, tetapi di negara-negara berkembang biasanya dilakukan oleh para pemimpinnya terutama pada rezim revolusioner. Oleh karena itu, analisis kebijakan luar negeri negara-negara berkembang selalu melibatkan penelitian lanjut mengenai kepemimpinan.
Terdapat berbagai tipe pemimpin yang dikembangkan dalam studi kepemimpinan. Menurut Houman A.Soudri dalam ‘Jurnal of Third World Studies “, Vol.15. Tipe kepemimpinan yang terdapat pada rezim revolusioner di Iran dapat dikategorikan menjadi : Pemimpin Idealis Revolusioner dan Realis Revolusioner.
1. Pemimpin Idealis Revolusioner, adalah orang yang memandang kesukesan revolusi sebagai batu loncatan dalam serangkaian tahap untuk menghadapi musuh-musuhnya baik di dalam dan di luar negeri. Banyak idealis revolusioner menantang lingkungan internasional mereka. Retorika anti status-quo mereka seringkali menjadi ancaman bagi kepentingan nasional negara lain, khususnya pada dekade pertama revolusi.
Bagi para Idealis, revolusi harus konsisten dengan tujuannya dalam menggunakan nilai-nilainya pada hubungan luar negeri. Mereka percaya bahwa cepat atau lambat revolusi mereka akan menyebar kemana-mana. Pada umumnya, pemimpin jenis ini cenderung untuk meromantisir sifat dan pengaruh revolusinya. Mereka juga optimis mengenai kemampuan mereka untuk menciptakan revolusi yang sama dimana pun.
Para idealis cenderung lebih tidak sabar ketika ide mereka membutuhkan waktu lama untuk direspon atau ketika pelaksanaan ide mereka berbeda dari tujuan awal mereka. Tujuan mereka adalah menyebarluaskan nilai-nilai revolusi yang sah, jelas dan sukses haruslah berakar di dalam masyarakat. Biasanya idealis revolusioner ini berasal dari kaum konservatif.
2. Pemimpin Realis Revolusioner, adalah pemimpin yang memahami politik real dan batas kekuatan negara revolusioner mereka. Jenis pemimpin ini lebih terbiasa dan tertarik dengan reaksi dari lingkungan internasional terhadap revolusi mereka dan konsukuensinya. Seperti halnya pemimpin idealis, realis revolusioner juga bertujuan untuk menyebarkan nilai-nilai revolusi, namun dengan strategi yang berbeda.
Dibanding menjaring sumber daya untuk mendukung pergerakan pembebasan di negara lain, prioritas pemimpin jenis ini adalah membangun negara mereka sendiri sebagai modal negara revolusioner. Mereka juga menyadari bahwa negara mereka membutuhkan bantuan dari luar untuk modernisasi. Secara konsekuen, mereka memahami pentingnya menjaga hubungan diplomatik dan ekonomi yang sehat dengan negara lain, khususnya dengan negara-negara besar untuk pengembangan tekhnologi mereka. Mereka juga lebih terfokus pada masalah-masalah nasional dibandingkan dengan masalah internasional.

Berhubung Presiden Iran pada saat ini; Mahmoud Ahmadinejad yang sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan konservatif Ayatulloh Khomeini dan tetap menjalankan kebijakan pengembangan teknologi nuklir dengan menghiraukan opini dunia yang menentang berjalannya program tersebut maka dapat dikategorikan dengan jelas bahwa Ahmadinejad termasuk tipe pemimpin Idealis Revolusioner.

2.6 Analisis Kebijakan Luar Negeri
Menganalisis politik luar negeri merupakan suatu usaha untuk menyelidiki suatu fenomena kompleks dan luas yang kurang lebih melibatkan kehidupan internal (aspirasi, atribut, budaya, konflik, kapabilitas, institusi dan rutinitas) dan eksternal dari sekelompok masyarakat yang berusaha sedemikian rupa untuk memperoleh dan menjaga identitas sosial, hukum dan geografis, sebagai sebuah bangsa (Rosenau.1976: 15).
Dalam menganalisis politik luar negeri, seorang analis harus mampu memilih dan menghubungkan faktor internal dengan faktor eksternal dengan sistematis logika antar faktor sehingga tercipta suatu jalinan situasi tertentu dimana dapat digambarkan bagaimana hubungan-hubungan diantara unit-unit analisis dan berdasarkan hal tersebut kemudian dianalisa bagaimana suatu negara merumuskan kebijakan luar negeri. Bagi para analis politik luar negeri, maksud analisis politik luar negeri adalah untuk memahami proses pembuatan keputusan (decision making process) dari suatu kebijakan luar negeri sebuah negara, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan, konsep-konsep dan teori yang ada dalam studi Hubungan Internasional atau dengan meminjam dari bidang-bidang lainnya.
Menurut John Lovell, ada hubungan yang jelas antara ”tugas” analitis yang dilakuikan analis dengan pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan yang berbeda kan memerlukan ”tugas analitis” yang berbeda pula (Lovell. 1970: 16-19). Karena itu sangat penting bagi kita untuk memperjelas perbedaan antara jenis-jenis pertanyaan dalam analisis politik luar negeri.
Analisis tentang tujuan, si analis akan tertarik untuk mengetahui maksud dari suatu program politik luar negeri, misi dari suatu organisasi, atau motivasi dari seorang aktor politik luar negeri tertentu. Analisis tentang sebab-akibat, si analis akan tertarik kepada apa yang senyatanya telah dicapai, gagal dicapai, akibat suatu program, tertarik pada efek-efek kegiatan aktual organisasi, tertarik untuk mengidentifikasikan faktor-faktor yang menimbulkan tindakan tersebut. Analisa struktur dan proses, si analis akan tertarik pada bagaimana hubungan antara program itu dengan program-program lainnya atau bagaimana kesesuaian program itu dengan konteks kebijaksanaan yang lebih luas, tertarik pada fungsi yang dijalankan oleh organisasi itu dalam proses politik luar negerinya dan tertarik untuk mengidentifikasikan posisi aktor tersebut dalam proses kebijaksanaan untuk menggambarkan fungsi yang dimainkan oleh suatu tindakan dalam proses politik luar negerinya (Mas’oed.1994: 300-303)

2.7 Hubungan Internasional di Kawasan Timur Tengah
Timur Tengah adalah sebuah wilayah yang secara politis dan budaya merupakan bagian dari benua Asia, atau Afrika-Eurasia. Pusat dari wilayah ini adalah daratan di antara Laut Mediterania dan Teluk Persia serta wilayah yang memanjang dari Anatolia, Jazirah Arab dan Semenanjung Sinai. Kadangkala disebutkan juga area tersebut meliputi wilayah dari Afrika Utara di sebelah barat sampai dengan Pakistan di sebelah timur dan Kaukasus dan/atau Asia Tengah di sebelah utara. Media dan beberapa organisasi internasional (seperti PBB) umumnya menganggap wilayah Timur Tengah adalah wilayah Asia Barat Daya (termasuk Siprus dan Iran) ditambah dengan Mesir (http://id.wikipedia.org /wiki/Timur_Tengah).
Wilayah tersebut mencakup beberapa kelompok suku dan budaya termasuk suku Iran, suku Arab, suku Yunani, suku Yahudi, suku Berber, suku Assyria, suku Kurdi dan suku Turki. Bahasa utama yaitu: bahasa Persia, bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Assyria, bahasa Kurdi dan bahasa Turki.
Kebanyakan sastra barat mendefinisikan "Timur Tengah" sebagai negara-negara di Asia Barat Daya, dari Iran (Persia) ke Mesir. Mesir dengan semenanjung Sinainya yang berada di Asia umumnya dianggap sebagai bagian dari Timur Tengah, walaupun sebagian besar wilayah negara itu secara geografi berada di Afrika Utara.

Gambar 2.1: Peta Timur Tengah

Timur Dekat adalah istilah yang lebih tua. Selain mencakup area Asia Barat, ia mencakup pula wilayah Eropa Tenggara yang pada masa lau pernah berada di bawah kekuasaan Turki. Timur Tengah tampaknya lebih baru dan diterima secara luas di zaman modern ini adalah berkat pemakaian resmi dari orang Inggris. Dalam studi ini diikuti dengan kebiasaan modern, dengan pengertian Timur Tengah itu meliputi semua negara yang terletak di sebelah selatan Uni Soviet (sekarang Rusia) dan di sebelah barat Pakistan dan juga Mesir di Benua Afrika. Negara-negara balkan dikecualikan dalam beberapa hal dimana Yunani dan Aegea perlu dimasukkan, maka digunakan istilah yang lebih tua yaitu Timur Dekat(Lenczowki.1993: xxi).
Riza Sihbudi mnyebutkan dalam bukunya, ada tiga pendapat mengenai negara-negara yang tercakup dalam kawasan ini. Pendapat pertama, bahwa wilayah Timur Tengah adalah negara-negara Arab non Afrika ditambah Iran dan Israel. Negara-negara Arab yang terletak di Afrika Utara, Seperti Mesir, Libya dan Aljazair tidak dapat dikategorikan kedalam wilayah Timur Tengah. Pendapat kedua, Timur Tengah sebagai negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab ditambah Iran, Israel dan Turki. Sedangkan pendapat ketiga, memasukkan negara-negara seperti Pakistan, Afganistan, bahkan negara-negara Asia bekas Soviet kedalam wilayah Timur Tengah.
Berdasarkan pendapat kedua, maka negara-negara yang termasuk kedalam kawasan Timur Tengah adalah Aljazair, Arab Saudi, Bahrain, Djibouti, Irak, Iran, Israel, Kuwait, Libanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Somalia, Sudan Suriah, Tunisia, Turki, Uni Emirat Arab, Yaman dan Yordania.
Sejak pertengahan abad ke-20, Timur Tengah telah menjadi pusat terjadinya peristiwa-peristiwa dunia, dan menjadi wilayah yang sangat sensitif, baik dari segi kestrategisan lokasi, politik, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Timur Tengah mempunyai cadangan minyak mentah dalam jumlah besar, gas, batu bara dan lainnya dan merupakan tempat kelahiran dan pusat spiritual agama Yahudi, Kristen dan Islam. Sehingga kawasan ini memiliki potensi konflik yang bernuansa agama, yang pernah terjadi pada abad 8-9 Masehi, yaitu Perang Salib, antara umat Islam dan Umat Kristen. .
Dengan defenisi seperti ini, maka akan dapat dipahami betapa beragamnya negara-negara di wilayah Timur Tengah. Dilihat dari letah Geografis: ada yang di Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa. Dari segi etnis: ada Arab, Persia, Yahudi dan Turki. Agama yang dianut oleh masyarakat di Timur Tengah juga beragam: Islam, Kristen dan Yahudi. Dari segi ekonomi, mereka juga berbeda, ada yang kaya dan juga miskin. Bentuk negara dan orientasi politik mereka pun berbeda-beda pula (Sihbudi. 1995: 5).
Pada 22 Maret 1945, tujuh Negara Arab (Mesir. Arab Saudi, Irak, Suriah, Libanon, Yaman, dan Transyordania) menandatangani pakta Liga Arab di Kairo, Mesir. Liga ini lahir akibat dua pengaruh yaitu, hasrat bangsa Arab bagi persatuan dan kekuatan yang lebih besar dan akibat dorongan Inggris (Lenczowski,1993: 413).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan oleh penulis bahwa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional di Kawasan Timur Tengah adalah hubungan yang terjadi antara negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah baik berupa hubungan politik, militer, sosial, budaya dan ekonomi.

BAB III
OBJEK PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum dan Sistem Politik Iran
3.1.1 Gambaran Umum
Iran berasal dari bangsa Persia, sebuah kerajaan yang muncul pada abad ke-16 sebelum Masehi di bawah Dinasti Achaenid. Cyrus yang Agung, pendiri kerajaan Persia, menyebut dirinya sendiri sebaga Raja Iran. Kerajaan yang luas ini mengontrol wilayah-wilayah dari Yunani sampai wilayah Pakistan. Bahkan, nama Persia diambil dari kata Persis, bahasa Yunani kuno yang berarti kerajaan. Alexander Agung menaklukkan Persia, tetapi tidak lama setelah itu Persia mendapatkan kembali kemerdekaannya di bawah kerajaan Sasanid. Pada abad 7 Masehi, dinasti Sasanid ditaklukkan oleh kekuatan Islam.
Pada abad 19 Masehi, Persia mengalami tekanan dari Rusia dan Inggris yang mengarah pada suatu proses modernisasi yang berlanjut pada abad 20. Pada abad 20, rakyat Iran menginginkan suatu perubahan dan hal ini diikuti dengan Revolusi Konstitusi Persia (Persian Constitutional Revolution) yang terjadi di tahun 1905. Pada tahun 1953, Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadeq, yang dipilih melalui parlemen pada tahun 1923 dan 1944, dicopot jabatannya dalam sebuah plot yang diatur oleh Badan Intelijen Inggris dan Amerika atau yang lebih dikenal dengan nama Operasi Ajax.
Banyak ahli mengira bahwa pencopotan ini dimotivasi oleh oposisi Inggris–AS terhadap niat Mossadeq untuk menasionalisasi minyak Iran. Setelah Mossadeq turun, Mohammad Reza Pahlevi Shah (Raja monarki Iran) semakin bertambah diktator. Dengan dukungan kuat dari Amerika Serikat dan Inggris, Shah ingin memodernisasi industri Iran namun menghancurkan kebebasan rakyat. Peraturan otokratiknya, termasuk penyiksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sistematis, mengakibatkan terjadinya revolusi Iran dan menjatuhkan rezimnya pada tahun 1979. setelah lebih dari satu tahun terjadi perebutan kekuasaan diantara kelompok-kelompok yang berbeda, sebuah Republik Islam terbentuk dibawah Ayatullah Khomeini. Sistem politik Iran yang teokratis mencakup perubahan nilai-nilai Islam yang konservatif dan dituangkan dalam sikap anti-Barat. Iran menjauhkan diri dari Amerika Serikat karena keterlibatan AS dalam peristiwa 1953, yang mengganti pemerintahan yang sah dengan rezim Shah yang represif. Iran juga menyatakan penolakannya untuk mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara. Pemerintahan yang baru menginspirasi banyak kelompok yang dianggap oleh sebagian besar negara Barat sebagai kaum fundamentalis. Sebagai konsekuensinya, beberapa negara khususnya yang dipimpin Amerika, menganggap Iran sebagai kekuatan jahat. Pada tahun 1980, Iran diserang oleh negara tetangganya yaitu Irak. Perang Iran-Irak ini berlangsung sampai tahun 1988.

3.1.1.1 Letak Geografis
Secara geografis, Iran terletak di bagian Selatan Teluk Persia. Salah satu negara yang mempunyai banyak pegunungan di dunia, Iran memiliki gunung Damavand, puncak tertinggi di Asia, pada Selatan Himalaya. Iran berada dalam kawasan Timur Tengah, Iran merupakan negara terbesar kedua setelah Arab Saudi, dengan luas wilayah meliputi 11.648.195 Kilometer Persegi. Selain itu, secara geopolitik, Iran dikelilingi negara-negara yang sangat penting di kawasan Asia dan Eropa seperti Turki, Rusia, Afghanistan, Pakistan dan Irak. Iran menjadi titik temu antara kawasan Asia Selatan, Timur Tengah dan Rusia.Dengan kondisi ini, Iran memiliki posisi yang sangat strategis, sehingga dapat dipastikan bahwa setiap perubahan politik domestik yang terjadi di Iran akan berdampak pada konstelasi politik regional.
Batas-batas Negara Iran dengan negara- negara tetangganya terdiri dari 5.170 km garis batas daratan dan 2.510 km garis batas air. Garis batas terpanjang hamper seluruhnya terdapat di sebelah utara, yaitu berbatasan dengan Uni Sovyet sepanjang 1.740 km sebagai daerah perbatasan bersama, termasuk 630 km batas air. Daerah perbatasan Iran dengan Irak di sebelah Barat daya, sepanjang 1.280 km, dan garis perbatasan dengan Turki panjangnya mencapai 470 km. dengan Afghanistan di Timur Laut, Iran bertapal batas sepanjang 850 km, sedangkan dengan Pakistan sepanjang 830 km.

Gambar 2.1 Peta Republik Islam Iran
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Iran

Terdapat 30 provinsi dalam Republik Islam Iran, yang meliputi provinsi Teheran, Qom, Markazi, azvin, Gilan, Ardabil, Zanjan, Azarbaijan Timur, Azarbaijan Barat, Kurdistan, Hamndan, Kermanshah, Ilam, Lorestan, Khuzestan, Chahar Mahaal, Kohkloyeh, Bushehr, Fars, Sistan, Hormozogan, Kerman, Yazd, Isfahan, Semnan, Mazandaran, Golestan, Khurasan Utara, Razavi Khurasan dan Khurasan Selatan (http ://en.wikipedia.org/wiki/Iran).

3.1.1.2 Penduduk
Jumlah penduduk Iran diperkirakan sekitar 55.764.001. Jumlah ini dua kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk pada tahun 1975 yaitu sebesar 33.379.000 jiwa. Antara tahun 1956 dan 1986 peningkatan populasi Iran mencapai lebih dari 3 % per tahun. Pertumbuhan populasi ini mulai menurun pada pertengahan tahun 1980-an setelah pemerintah mencanangkan program untuk mengontrol laju pertumbuhan populasi pada tahun 2004. Rata-rata angka pertumbuhan menurun hingga 1,1 % per tahun, dengan angka rata-rata kelahiran 17 per 1000 orang dan angka rata-rata kematian 6 per 1000 orang. Sekitar 55 persennya penduduk Iran berusia 24 tahun atau kurang (http:www.theodora.com/wfb1990/iran/iran_people.html).
Populasi Iran terdiri atas beragam kelompok etnis. Suku persia berimigrasi dari Asia Tengah dimulai pada abad ke-7 SM dan mendirikan kerajaan persia pertama pada tahun 550 SM. Suku persia merupakan kelompok etnis terbesar, termasuk didalamnya suku Gilaki, yang tinggal di propinsi Gilan, dan kelompok Mazandarini , yang tinggal di propinsi Mazandaran. Suku Persia merupakan 60 % dari total populasi, mereka tinggal di seluruh kota di Iran.
Terdapat dua kelompok yang berkaitan dengan suku Persia baik secara etnis dan linguistik yaitu suku Kurdi dan suku Lurs. Suku Kurdi yang berjumlah 7% dari populasi, hidup di gunung Zagros dekat perbatasan dengan Irak dan Turki. Suku Lurs berjumlah 2 % dari populasi, mereka menempati wilayah bagian tengah Zagros.
Suku Turki mulai bermigrasi ke daerah Utara Iran pada abad 11. Sejak awal 1990-an, Azeris (salah satu suku Turki) telah bermigrasi ke kota-kota besar di Iran, khususnya Teheran. Azeris dan suku Turki lain berjumlah sekitar 25 % dari total populasi. Komunitas kecil lain di Iran terdiri atas komunitas Arab, Armenia, Assyria, Baluchis, Georgia dan Pashtun.
Tingkat pendidikan dan sumber daya manusia penduduk Iran dapat diukur dari tingkat jumlah buta huruf dalam suatu negara. Pada tahun 1970, jumlah buta huruf di Iran masih relatif tinggi yaitu berada dikisaran 80-85 %. Namun pada tahun 1990-an, jumlah buta huruf di Iran berhasil ditekan sehingga mengalami penurunan yang cukup berarti (Yusuf Abdullah Puar,1979:81). Tingkat persentase buta huruf di Iran pada tahun 1990 adalah sebesar 48 %.

3.1.1.3 Bahasa
Bahasa nasional Iran merupakan persia modern. Bahasa persia berbentuk tulisan telah ada sebelum penaklukan bangsa Arab pada abad ke-7. Bentuk tulisan baru dalam naskah Arab dikembangkan selama abad 9 dan 10, ini merupakan dasar dari bahasa persia modern yang digunakan sekarang.
Terdapat beberapa dialek persia yang berbeda, tetapi karena penyebaran pendidikan dan media, sebuah bentuk pengucapan standar telah dikembangkan. Namun selain bahasa nasional, terdapat bahasa lain yang digunakan oleh kelompok etnis lain yaitu bahasa Azeri, Kurdi,Arab dan Armenia.

3.1.1.4 Agama
Islam Syiah merupakan agama resmi Iran sejak abad 16. Pengikut Islam Syiah tidak setuju dengan muslim Sunni yang membentuk mayoritas muslim di Timur Tengah dan di dunia) dalam hal siapa yang berhak menjadi penerus nabi Muhammad Saw. Konstitusi Iran 1979 memberikan kaum Syiah peran kepemimpinan politik yang penting dalam pemerintahan.
Diperkirakan 93 % masyarakat Islam Iran memeluk Islam Syiah, dan hampir semuanya merupakan anggota kelompok Jafari. Hal ini dikarenakan kaum Jafari meyakini bahwa terdapat 12 imam yang menjadi penerus nabi Muhammad SAW. Sebagian besar sisa populasi memeluk aliran Islam lain, khususnya Islam Sunni. Iran juga memiliki komunitas kecil dari agama kristen Armenia dan kristen Assyria, Yahudi dan Zoroaster. Aliran Bahai’i yang muncul di Iran selama abad 19, memiliki ratusan pengikut rahasia, walaupun aliran ini telah menjadi aliran yang dilarang pemerintah sejak tahun 1979.

3.1.1.5 Ekonomi
Pendapatan per kapita atau pendapatan per orang per tahun di Iran, menurut perhitungan menurut tahun 1974, baru mencapai jumlah sekitar 762 dollar AS dibanding dengan Irak US$ 645, Arab Saudi US$ 1299, Mesir US$ 259 dan Kuwait US$ 8449 (Yusuf Abdullah Puar,1979:21). Jumlah GNP Iran pada tahun 1990 adalah sebesar US$ 97,6 Milyar , sedangkan pendapatan per kapita sebesar US$ 1800.
Sejak revolusi Islam Iran, yang telah menjatuhkan rezim Shah, mengubah kondisi ekonomi dan politik Iran. Pada masa awal-awal revolusi, ketika terjadi krisis penyanderaan kedutaan besar AS dan masih terjadinya perebutan kekuasaan dalam politik dalam negeri Iran sendiri; menjadikan ekonomi Iran terpuruk. Hal ini ditambah dengan sanksi dari AS dan negara Barat lain untuk tidak membantu perekonomian Iran. Pertumbuhan ekonomi Iran sangat bergantung pada situasi politiknya. Pada awal 1980-an, terjadi invasi Irak ke Iran yang menyebabkan perang antara Irak dan Iran. Perang selama 8 tahun ini telah menghabiskan menguras ekonomi Iran. Pemulihan dari perang dengan Irak ini tidaklah mudah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini Iran mampu menopang perekonomiannya sendiri karena isolasi Iran dari negara-negara Arab dan embargo AS terhadap Iran.
Pemulihan ekonomi Iran tidak bisa dijalankan dengan cepat, karena pemulihan ekonomi hanya dilakukan pada di dalam negeri. Kurangnya investasi dan perdagangan dengan negara lain, menjadikan ekonomi Iran lambat dalam pemulihannya. Faktor ekonomi ini pun merupakan salah satu alasan utama Iran untuk mulai membuka isolasinya. Kebutuhan akan bantuan dari negara lain terhadap ekonomi Iran, membuat Iran menormalisasi hubungannya dengan sejumlah negara baik itu di Timur Tengah maupun dengan negara-negara besar (great powers)

3.1.1.6 Militer
Kekuatan militer Iran dibagi menjadi angkatan bersenjata biasa dan Dewan Penjaga Revolusi Islam (Pasdaran). Angkatan bersenjata Iran terdiri atas: angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Kemudian terdapat Dewan Penjaga Revolusi Islam (Sepah-e pasdaran-e Engelab-e Eslami) yang terdiri atas : angkatan darat, angkatan laut, angkatan udara, kesatuan Quds dan kesatuan Basij.
Iran menerapkan wajib militer bagi warga negaranya untuk laki-laki yang berusia 18 tahun. Wajib militer ini harus dijalani selama 18 bulan atau satu tahun setengah (http:www.theodora.com/wfb1990/iran/iran_military.html).

3.1.2 Sistem Politik Iran
Dalam Republik Islam Iran, Kekuasaan legislatif ditangani oleh tiga lembaga yaitu Majelis-e-Syura-e-Islami (Majelis), Shuraye Nigahban (Dewan Perwalian) dan Shuraye Khubragan (Majelis Ahli). Ketiga lembaga ini menjalankan fungsi yang berbeda satu sama lain.
Majelis-e-Islami atau Majelis berfungsi sebagai parlemen yang terdiri dari 270 anggota, yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Sedangkan landasan falsafah Majelis adalah musyawarah untuk mencapai mufakat sesuai dengan al-Qur’an surat As-Syura ayat 38 (UUD Republik Islam Iran, tanpa tahun : 19-20).
Golongan-golongan minoritas seperti Zoroaster, Yahudi, Kristen dan Armenia masing-masing diwakili oleh satu anggota di Majelis. Di samping itu, Sidang-sidang Majelis harus berjalan secara terbuka dan harus dilaporkan secara lengkap oleh media massa, kecuali dalam keadaan darurat.
Shuraye-Nigahban (Dewan Perwalian) dan Shuraye-Khubragan (Majelis Ahli) mempunyai fungsi legislatif yang terbatas, namun pada hakikatnya cukup menentukan. Dewan Perwalian yang beranggotakan 12 orang terdiri dari enam orang fuqaha yang diangkat oleh Imam atau Dewan Keimanan dan enam ahli hukum, yang cakap dalam berbagai cabang hukum. Keenam ahli hukum ini diangkat oleh Majelis.
Majelis-Khubragan (Majelis Ahli) berfungsi untuk memilih dan memberhentikan pemimpin spiritual Iran atau rahbar. Keberadaan Majelis Ahli ini berdasarkan konstitusi pada konstutusi Iran. Majelis Ulama ini beranggotakan 73 ulama senior yang dipilih langsung oleh rakyat. Sementara dalam kekuasaan eksekutif , kekuasaan tertinggi negara Republik Islam Iran berada di tangan presiden yang masih berada di bawah garis kekuasaan Rahbar. Presiden bertanggung jawab dalam penerapan UUD, pengaturan ketiga cabang kekuasaan dan memimpin cabang eksekutif kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab Imam atau Rahbar.
Presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun dan dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan lagi secara berurutan (UUD Republik Islam Iran, tanpa tahun : 67-68).
Disamping presiden, ada pemegang kekuasaan ekskutif lain yaitu Perdana Menteri. Menurut UUD Republik Islam Iran Pasal 124, perdana menteri diusulkan oleh presiden dan setelah disetujui oleh Majelis kemudian disahkan oleh presiden. Namun, setelah referendum amandemen konstitusi yang diadakan pada tahun 1989 , jabatan perdana menteri dihapuskan dan diganti oleh posisi wakil presiden.
Kemudian kekuasaan Yudikatif sebagai lembaga peradilan terdiri dari Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Rendah. Menteri Kehakiman ditunjuk oleh presiden dari calon-calon yang diajukan oleh Kepala Peradilan. Tugas dari Menteri Kehakiman adalah menjaga hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara eksekutif dan legislatif serta masalah-masalah hukum. Untuk posisi Kepala Pengadilan dan Jaksa Penuntut Umum, semuanya berasal dari ahli hukum-hukum Syi’ah.
Menurut pasal 156 UUD Republik Islam Iran, lembaga peradilan harus merupakan kekuasaan yang independen, membela dan melindungi hak-hak individu dan sosial rakyat, juga bertanggung jawab terhadap implementasi keadilan dan harus melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
 Pertama, menguji dan memberikan keputusan yang memperhatikan dakwaan, jenis pelanggaran, pengaduan, menetapkan perkara pengadilan, menyelesaikan perselisihan dan mengambil putusan penting serta tindakan dengan memperhatikan bagian-bagian tersebut dalam persoalan seperti status perseorangan di depan hukum.
 Kedua, memulihkan hak-hak publik atau rakyat dan meningkatkan keadilan dan kebebasan-kebebasan yang sah.
 Ketiga, melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukum yang baik.
 Keempat, mengusut kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran , menjatuhkan keputusan hukum, menghukum dan melaksanakan hukuman cambuk, memperbaiki orang-orang yang bersalah dan memberikan keadilan islami.
 Kelima, mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk mencegah tindakan kejahatan dan memperbaiki pelaku kejahatan.
Disamping lembaga-lembaga tersebut, terdapat partai politik di Iran. Partai politik Iran berkembang di Iran selama tahun 1940-an. Sebagian besar partai dilarang setelah dipaksa setia kepada Rezim Shah pada tahun 1953, namun banyak yang tetap berjalan secara sembunyi-sembunyi sampai dengan Revolusi 1979, ketika partai-partai tersebut muncul kembali secara terbuka.
Segera setelah revolusi, para ulama Iran mendirikan Partai Republik Islam (Islamic Republic Party) yang mendominasi politik Iran sampai akhirnya dibubarkan pada tahun 1987 karena konflik internal. Selain PRI, terdapat Partai Republik Rakyat Muslim dan partai Mujahidin Khalq. Namun, keduanya dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang oleh pemerintah karena telah melakukan makar dan tidak sejalan dengan pemerintah (Nur Maulana Arif, 2003 : 177-179).
Selain partai politik, terdapat kelompok-kelompok kepentingan di Iran. Kelompok-kelompok kepentingan mewakili sebagian besar aktivitas politik di Iran. Kelompok kepentingan ini meliputi : Kelompok pendukung Republik islam seperti Ansar-e Hizballah, Mahasiswa muslim, Asosiasi Ulama Militan Teheran (Ruhaniyat), Partai Koalisi Islam (Motafeleh), dan perkumpulan insinyur Islam. Kelompok mahasiswa pro-reformasi, kelompok oposisi seperti Front Nasional, Marz-e Por Gohar dan beberapa organisasi etnis.

3.2 Sistem dan Kebijakan Luar Negeri Republik Islam Iran
Didalam sistem pembuatan kebijakan luar negeri Republik Islam Iran terdapat beberapa unit penting dalam sistem politik Republik Islam Iran yang paling mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Iran.
Unit-unit sistem politik Republik Islam Iran yang paling mempengaruhi arah kebijakan luar negeri Iran adalah :
1. Wali Faqih (Rahbar)
Wali Faqih merupakan pemimpin spiritual Iran yang kedudukannya diatas presiden Iran. Dengan kata lain Wali Faqih mempunyai otoritas untuk mengawasi kinerja presiden Iran. Berdasarkan UUD Republik Islam Iran Pasal 110 Bab VII, tugas-tugas seorang rahbar adalah sebagai berikut :
1. Menentukan kebijakan umum republik Islam Iran, setelah berkonsultasi dengan Dewan Penentuan Kelayakan Nasional.
2. Mengawasi pelaksanaan kebijakan umum pemerintah
3. Mengeluarkan dekrit untuk pelaksanaan referendum nasional
4. Mewakili komando tertinggi dalam angkatan bersenjata Nasional
5. Menyatakan perang dan damai, memobilisasi angkatan bersenjata
6. Menunjuk, memberitahukan dan menerima pengunduran diri dari Anggota Dewan penjaga, Ketua Mahkamah Agung ,Kepala radio dan Televisi.
7. Menyelesaikan masalah-masalah yang tidak terselesaikan dengan perantaraan Dewan Penentuan Kelayakan Nasional.
8. Menandatangani surat pengangkatan presiden
9. Penghentian presiden atas kepentingan negara, setelah Mahkamah Agung memutuskan bahwa presiden tersebut bersalah melanggar tugas-tugas konstitusinya.
10. Memberikan pengampunan atau pengurangan hukuman dalam kerangka hukum Islam.

Kewenangan Wali Faqih ini sangat besar, sehingga setiap kebijakan luar negeri Iran yang diambil pun harus mendapat restu dari Rahbar.
2. Presiden
Presiden adalah jabatan negara tertinggi sesudah jabatan pemimpin spiritual Iran. Presiden merupakan kepala administrator juga, walaupun tidak memiliki kekuasaan dalam bidang militer; tetapi peran presiden tetap penting. Hal ini dikarenakan presiden menjalankan pemerintahan dan memiliki kekuasaan juga dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri Iran terhadap negara lain. Presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan 4 tahun dan pencalonannya kembali hanya diijinkan satu kali masa jabatan. Menurut UUD Republik Islam Iran, presiden harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: berkewarganegaraan Iran, mempunyai kemampuan administratif dan manajerial, jujur dan bertanggung jawab serta percaya pada prinsip dasar Republik Islam dan agama resmi negara.
Wewenang presiden meliputi: menandatangani dan mengawasi pelaksanaan hukum yang diajukan oleh majelis, menandatangani kesepakatan dan perjanjian internasional lain yang diratifiksi oleh Majelis, menerima duta besar negara lain, memfasilitasi para duta besar Iran untuk negara lain dan memimpin Dewan Keamanan Nasional. Tanggung jawabnya juga meliput administrasi biaya anggaran negara dan rencana pembangunan yang diratifikasi Majelis. Memimpin rapat-rapat kabinet, namun jika presiden tidak dapat hadir; maka rapat dipimpin oleh wakil presiden (www.irannet.com/profiles/executive).
3. Majlis Syura (Parlemen)
Unit politik yang berperan dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Iran adalah majelis atau parlemen Iran. Setiap keputusan atau kebijakan yang dibuat presiden dan kebinetnya harus memperoleh persetujuan dari majelis terlebih dahulu.
4. Faktor Lainnya
Selain faktor di atas, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menjadi penghambat bagi kekuasaan presiden dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Iran. Faktor-faktor tersebut antara lain masukan informasi,
pemerintah negara bagian, partai politik, kelompok kepentingan, badan peradilan, opini publik, media massa dan lingkungan.
Sistem politik Iran berbeda dengan negara-negara lain pada umumnya. Hal ini dikarenakan adanya Faqih yang posisinya di atas presiden dan berbagi kekuasaan dengan presiden. Kekuasan presiden Iran tidaklah sebesar kekuasaan presiden di Amerika Serikat. Kekuasaan presiden Iran benar-benar terpusat pada cabang eksekutif saja. Namun, hal ini tidak berarti bahwa posisi presiden Iran lemah dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya.
Menurut artikel 113 Undang-Undang Dasar Iran, presiden merupakan pihak yang memegang kekuasaan resmi setelah faqih. Presiden mempunyai wewenang untuk memilih perdana menteri, menyetujui pengangkatan para menteri, memberlakukan aturan-aturan hukum dan memveto masalah yang ditujukan oleh dewan menteri atau kabinet.
Dari penjelasan di atas dapat dikaitkan bahwa presiden Iran dengan dibantu oleh birokrasinya (dalam hal ini menteri luar negeri) dengan dukungan dari majlis dan persetujuan dari Faqih merupakan unit pembuat kebijakan luar negeri dalam sistem kebijakan luar negeri Iran, Sementara dalam hal ini, faktor idiosinkretik dapat dinyatakan sebagai bagian dari input internal dalam sistem kebijakan luar negeri Republik Islam Iran.

3.3 Biografi Mahmud Ahmadinejad
Mahmud Ahmadinejad yang kini menjadi Presiden Republik Islam Iran terlahir dengan nama Mahmud Saborjihan. Mahmud Saborjihan sepenuhnya merujuk pada bahasa Parsi. Mahmud berakar dari kata Muhammad; dia yang terpuji. Sementara Saborjihan berarti pelukis karpet, pekerjaan jamak yang digeluti orang di sentra karpet seperti Aradan. Dia lahir di Aradan, kawasan udik sekitar 120 kilometer dari arah tenggara Teheran, pada 28 Oktober 1956. Dia anak keempat dari tujuh bersaudara. Orangtuanya, Ahmad Saborjihan memberinya nama Mahmud Saborjihan. Dia menggunakan nama itu hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya hijrah
Di Aradan, keluarga Saborjihan dulunya tinggal di sebuah rumah sederhana berlantai dua. Seorang junalis Inggris yang menyempatkan berknjung kesana setelah Ahmadinejad terpilih menjadi presiden Iran pada tahun 2005 menggambarkan kondisi terakhir rumah itu : lapuk dan tidak terawat. Pekarangan tempat Ahmadinejad dibesarkan kini penuh dengan ilalang. Ayah Ahmadinejad menafkahi tujuh orang anaknya dari membuka toko kelontong, awalnya. Tapi pekerjaan ini sukar menghidupkan perapian dapur rumah mereka. Kemudian beralih profesi menjadi tukang pangkas rambut. Mehran Mohseni, 32 tahun, anak dari seorang sepupu Ahmadinejad yang masih menetap di Aradan, mengenang keluarga Saborjihan sebagai keluarga yang hidup ”sangat sederhana”. ”Dia telah merasakan sendiri kemiskinan,” katanya. ”Dia dan keluarganya punya banyak persoalan” ( Labib, et. all., 2007 : 54).
Disini dapat dilihat bahwa pengalaman dan pendidikan keluarga Ahmadinejad bersentuhan dengan banyak kehidupan penduduk Iran. Kehidupan keluarganya juga membentuk karakter pribadi Ahmadinejad yang asketik dalam kesehariannya. Ahmadinejad sendiri juga bisa merasakan empati rakyat Iran yang ternafikan atau kaum mustahik. Karena dia mengerti kesulitan yang dihadapi itu maka solusi yang diberikan pun
Lahir di desa pertanian Aradan, dekat Garmsar, sekitar 100 km dari Teheran, sebagai putra seorang pandai besi, keluarganya pindah ke Teheran saat dia berusia satu tahun. Dia lulus dari Universitas Sains dan Teknologi Iran (IUST) dengan gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi.
Pada tahun 1980, dia adalah ketua perwakilan IUST untuk perkumpulan mahasiswa, dan terlibat dalam pendirian Kantor untuk Pereratan Persatuan (daftar-e tahkim-e vahdat), organisasi mahasiswa yang berada di balik perebutan Kedubes Amerika Serikat yang mengakibatkan terjadinya krisis sandera Iran.
Pada masa Perang Iran-Irak, Ahmedinejad bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986. Dia terlibat dalam misi-misi di Kirkuk, Irak. Dia kemudian menjadi insinyur kepala pasukan keenam Korps dan kepala staf Korps di sebelah barat Iran. Setelah perang, dia bertugas sebagai wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil dari 1993 hingga Oktober 1997.
Ahmadinejad lalu terpilih sebagai walikota Teheran pada Mei 2003. Dalam masa tugasnya, dia mengembalikan banyak perubahan yang dilakukan walikota-walikota sebelumnya yang lebih moderat dan reformis, dan mementingkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan-kegiatan di pusat-pusat kebudayaan. Selain itu, dia juga menjadi semacam manajer dalam harian Hamshahri dan memecat sang editor, Mohammad Atrianfar, pada 13 Juni 2005, beberapa hari sebelum pemilu presiden, karena tidak mendukungnya dalam pemilu tersebut.
Ahmadinejad diketahui pernah bertengkar dengan Presiden Mohammad Khatami, yang lalu melarangnya menghadiri pertemuan Dewan Menteri, suatu hak yang biasa diberikan kepada para walikota Teheran. Dia telah mengkritik Khatami di depan umum, menuduhnya tidak mengetahui masalah-masalah sehari-hari warga Iran.
Setelah dua tahun sebagai walikota Teheran, Ahmadinejad lalu terpilih sebagai presiden baru Iran. Tak lama setelah terpilih, pada 29 Juni 2005, sempat muncul tuduhan bahwa ia terlibat dalam krisis sandera Iran pada tahun 1979. Iran Focus mengklaim bahwa sebuah foto yang dikeluarkannya menunjukkan Ahmadinejad sedang berjalan menuntun para sandera dalam peristiwa tersebut, namun tuduhan ini tidak pernah dapat dibuktikan (http://id.wikipedia. org/wiki/Mahmud_Ahmadinejad).
Di Teheran, keluarga Saborjihan mengontrak rumah dikawasan pekerja di timur kota. Disini, ayah Ahmadinejad tidak bisa meneruskan profesi lamanya di Aradan. Dia merintis dan menggantungkan hidup keluarganya sebagai seorang pandai besi. Di Teheran kala itu, tukang besi adalah profesi masyarakat kelas keempat, satu strata dengan pekerja pabrik, tambang minyak, listrik, industri kayu, pertambangan, kereta api, dok kapal, supir truk, penjaga toko dan lain sebagainya ( Labib, et. all., 2007 : 66).
Di Teheran keluarga saborjihan harus menerima kenyataan hidup bersesak-sesakkan. Namun di pemukiman padat tersebut agama bisa menjadi perekat komunitas dan solidaritas sosial. Mereka mengarahkan hidupnya di seputar masjid dan menerima bimbingan sosial kaum mullah. Agama menjadi pngganti komunitas mereka yang musnah. Modernisasi justru membantu memperkuat kelompok tradisional dan keluarga Saborjihan terimbas gerakan itu. Mungkin ini pula yang melatarbelakangi Ahmad mengubah nama anaknya Mahmud Saborjihan menjadi Mahmud Ahmadinejad yang dalam bahasa Parsi berarti ras yang unggul, bijaksana dan paripurna. Pihak keluarga mengatakan perubahan nama itu sebagai isyarat religuisitas dan semangat mencari kehidupan yang lebih layak ( Labib, et. all., 2007 : 68).
Setelah dua tahun menjabat menjadi walikota Teheran, Ahmadinejad termasuk dalam finalis walikota terbaik dunia World Mayor 2005 dari 550 walikota yang masuk nominasi, hanya sembilan yang dari Asia. Saat telah mencapai prestasi mengagumkan ini kesibukan Ahmadinejad bertambh. Kali ini, perhatiannya tersita pada sesuatu yang lebih besar dari jabatannya sebagai walikota: keinginannya mencalonkan diri sebagai Presiden Iran dalam putaran pemilu 2005 ( Labib, et. all., 2007 : 122-123).

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Faktor-faktor Penentu Perumusan Kebijakan Luar Negeri Iran di Masa Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad
Pendekatan analisis kebijakan luar negeri yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem adaptif yang bertolak dari pada pemikiran Rosenau. Menurut Rosenau, faktor-faktor atau sumber-sumber kebijakan luar negeri melalui dua kontinum, yakni dengan cara menempatkan sumber-sumber itu pada kontinu waktu (time continu) dan kontinu agresi sistematik (systemic agregation continu) Kontinu waktu meliputi sumber-sumber yang cenderung bersifat mantap dan berlaku terus-menerus dan tetap, dan sumber-sumber yang dapat dipengaruhi oleh fluktuasi jarak pendek, dan sumber-sumber yang dapat berubah
Menurut Rosenau sumber-sumber utama yang menjadi input dalam kebijakan luar negeri adalah, sumber sistemik yang berasal dari lingkungan eksternal dari suatu negara, sumber masyarakat merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal, sumber pemerintahan merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan struktur dalam pemerintahan dan sumber idiosinkratik yang merupakan sumber internal yang melihat pada pengalaman, nilai-nilai, bakat, serta kepribadian elit politik.
Secara sederhana model sumber-sumber yang mempengaruhi kebijakan luar negeri menurut Rosenau dapat digambarkan dalam bentuk bagan seperti di bawah ini. Model ini dikenal dengan nama model Adaptif karena model ini meneliti kebijakan luar negeri yang fokus pada bagaimana negara-negara memberikan respon terhadap kendala-kendala dan kesempatan-kesempatan yang diciptakan oleh lingkungannya ( Moch. Yani. 2005: 66)

Model Adaptif Politik Luar Negeri
Sumber: James N. Rosenau, Comparing Foreign Policy: Theories, Findings, and Methods. New York: Sage Publications, 1974, hal 47.

4.1.1 External Change
External Change (perubahan eksternal) adalah situasi dan kondisi yang terjadi dan berkembang di luar sebuah negara, seperti situasi dan kondisi di kawasan negara itu berada atau di kawasan lain yang mempengaruhi suatu kawasan atau negara tertentu atau bahkan situasi dan kondisi yang terjadi di lingkungan global atau internasional secara umumnya.
Ada tiga fenomena menonjol di tahun 2006 dan akan berpengaruh pada peta global di tahun 2007, yaitu proses demokrasi yang mengalami ujian berat, pudarnya dominasi Amerika Serikat di Timur Tengah dan Amerika Latin, serta makin besarnya ketergantungan terhadap energi.
Masih lekat dalam ingatan ketika bangsa Indonesia bisa melampaui pemilu tahun 2004 dengan transparan, jujur, dan damai, yang kemudian disebut-sebut sebagai contoh yang gemilang bagi kawasan maupun dunia internasional. Indonesia yang saat itu baru memiliki pengalaman enam tahun lepas dari kediktatoran Soeharto dan secara beruntun dilanda berbagai konflik internal dan aksi teror berhasil menunjukkan kekuatan dan daya tahannya untuk masuk ke dalam jajaran negara demokratis di dunia. Kemampuan Indonesia untuk menetralkan militernya dalam peta perpolitikan dan memberdayakan masyarakat madani diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi para tetangganya di Asia Tenggara, seperti Myanmar.
Namun, kudeta militer yang terjadi di Thailand meluruhkan asumsi itu. Angin demokrasi rupanya bisa berhenti kapan pun. Sistem politik yang ada di Thailand tak mampu membendung ambisi kekuasaan militernya. Apapun alasannya, yang paling klasik adalah untuk menyelamatkan negara dan cara-cara yang di tempuh tidak dapat diterima oleh sistem politik modern.
Kudeta militer juga terjadi pada tetangga yang jauh di timur, Fiji, dan juga di bagian dunia lainnya, yang semuanya berawal dari kepemimpinan yang lemah yang akhirnya mengundang kembali kehadiran militer. Ini merupakan suatu hal yang disebut Fareed Zakaria sebagai illiberal democracy, yaitu saat sebuah proses yang demokratis (pemilu) tak selalu menghasilkan pemerintahan yang matang dan berdaya (Myrna Ratna, http://www.kompas.com). Akan tetapi, kekuatan eksternal pun mampu melemahkan sebuah pemerintahan baru yang terbentuk secara demokratis, seperti pemerintahan Hamas yang diboikot secara politik dan ekonomi oleh Barat dan kini menyeret Palestina ke dalam konflik internal yang semakin dalam.
Contoh dahsyat tentang campur tangan kekuatan asing adalah invasi militer Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, yang menghasilkan sebuah kekacauan hebat. Irak kini menjadi ladang aksi teror dan sudah memasuki tahap perang sipil. Sentimen anti-Amerika meluas ke seluruh dunia dan menyulut kebangkitan kelompok-kelompok radikal serta mengakhiri kejayaan Partai Republik Amerika Serikat.
Perang Irak juga mengubah kondisi Timur Tengah. Sewaktu Perang Dingin berakhir, pengaruh Amerika Serikat begitu kuat di kawasan ini. Kesuksesan Amerika Serikat membebaskan Kuwait dalam Perang Teluk, yang berujung dengan penempatan pasukan Amerika Serikat secara permanen di jazirah Arab, serta terlibatnya Amerika Serikat secara aktif dalam penyelesaian damai konflik Arab-Israel mengukuhkan dominasi itu.
Namun, perang Irak membuat Amerika Serikat kehilangan legitimasinya, dimana Richard N Haas, Council on Foreign Relations President, menyebutnya sebagai ironi sejarah. Perang Irak pertama yang dikomandani Presiden Bush Sr. dianggap menandai era Amerika Serikat di Timur Tengah, sedangkan perang Irak kedua oleh Bush Jr. mengakhiri dominasi Amerika Serikat.
Iran kini muncul sebagai kekuatan signifikan di kawasan. Dengan berdirinya pemerintahan Syiah di Irak, luka lama Baghdad-Teheran akibat perang delapan tahun (Perang Teluk I 1980-1988) dapat diobati. Irak bahkan meminta Iran untuk menjadi broker perdamaian di negaranya.
Teheran juga menjalin hubungan baik dengan pemerintahan Damaskus dan kelompok Hezbollah di Lebanon yang berhasil menahan gempuran angkatan bersenjata Israel dalam perang 34 hari, Juli-Agustus 2006. Kunjungan PM Palestina Ismail Haniya ke Teheran pekan lalu juga mengisyaratkan perluasan pengaruh Iran ke wilayah yang selama ini menjadi domain Amerika Serikat dan negara-negara Arab.
Menguatnya pengaruh Iran membuat khawatir pemerintahan Arab Sunni. Menteri Luar Negeri Arab Saudi menyebut langkah-langkah Iran sebagai intervensi non-Arab di dunia Arab, sedangkan Raja Jordania, Abdullah mengingatkan tentang meluasnya Syiah di kawasan. Demikian juga Presiden Mesir, Hosni Mubarak, yang secara terbuka menyebut bahwa Syiah di Timur Tengah lebih loyal kepada Iran daripada terhadap negaranya.
Isu nuklir Iran lebih mengundang perhatian dan diperdebatkan oleh negara-negara Timur Tengah dibandingkan ancaman nuklir dari Israel. Padahal, bukan saja Menteri Pertahanan AS Robert Gates yang telah mengonfirmasi kekuatan nuklir Israel, PM Israel Ehud Olmert pun di Jerman secara tak sengaja mengakui bahwa Israel merupakan negara berkekuatan nuklir. Dalam forum Dewan Kerja Sama Negara-negara Teluk, negara-negara Arab mendeklarasikan dimulainya pembangunan reaktor nuklir untuk kepentingan damai meskipun para pengamat membaca langkah itu sebagai upaya untuk mengimbangi dominasi Iran.
Berubahnya peta kekuatan di Timur Tengah dengan sendirinya berpengaruh pada isu global saat ini, yaitu ketergantungan terhadap minyak dan gas. Di dunia ini ada lima negara penghasil minyak terbesar, yaitu Arab Saudi, Iran, Rusia, Irak, dan Venezuela. Meroketnya harga minyak bumi membuat para produsen minyak ini, kecuali Irak, memiliki daya tawar politik yang semakin kuat.
Amerika Serikat yang harus mengimpor 60 persen dari total konsumsi minyak nasionalnya, posisinya semakin sulit akibat hubungan yang tak baik antara Washington dengan Teheran, Caracas, maupun Moskow.
Faktor ketergantungan pada minyak pula yang membuat Eropa berhati-hati dalam membicarakan sanksi terhadap program nuklir Iran. Eropa juga menerapkan standar ganda terhadap Rusia. Di satu sisi mereka antusias untuk membangun kerja sama energi, tetapi di sisi lain berang terhadap cara Moskow menekan negara-negara mantan emporium Uni Soviet dengan ancaman penghentian pasokan gas.
Pudarnya dominasi Amerika Serikat juga terlihat di Amerika Latin, yang satu per satu negara-negara di kawasan itu memilih presiden yang cenderung kiri, kritis terhadap kebijakan pasar bebas, dan skeptis terhadap Washington. Mulai dari Evo Morales di Bolivia, Lula da Silva di Brasil, sampai Hugo Chavez di Venezuela, gelombang baru pemimpin Amerika Latin ini menyodorkan sebuah gagasan tentang perlunya blok baru untuk menjadi penyeimbang dalam tata politik dunia. Chavez mengusulkan penggabungan dua blok perdagangan, yaitu komunitas negara-negara Andes (Bolivia, Kolombia, Peru, Ekuador) dengan Mercosur (Argentina, Brasil, Paraguay, Uruguay, dan Venezuela).
Bagi Barat, boleh jadi kemunculan Chavez, Ahmadinejad, Ismail Haniya, ataupun Morales dianggap sebagai tantangan daripada kesuksesan demokrasi. Semua pemimpin baru ini (kecuali Chavez yang terpilih untuk kedua kalinya) telah memenangi pemilu yang transparan dengan hasil telak. Mereka telah memperoleh mandat rakyat yang menganggap konsep ekonomi neoliberal Barat nyatanya tak mampu meningkatkan kesejahteraan.
Bangkitnya perekonomian China dan India yang memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia dibayangi oleh meningkatnya kebutuhan terhadap konsumsi minyak dan gas. Kekhawatiran muncul karena dua produsen utama minyak, Arab Saudi dan Rusia tampaknya mulai terengah-engah dalam memenuhi kebutuhan energi dunia.
Fenomena-fenomena ini yang terjadi pada tahun 2007, ketika isu nuklir Korea Utara menghantui kawasan Asia Timur, sementara masa depan Irak, Lebanon, maupun Palestina berada di ujung tanduk. Tahun 2007 juga ditandai dengan era baru, yaitu sejumlah pemain lama akan mundur dari panggung politik, seperti PM Inggris Tony Blair, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, dan Presiden Perancis Jacques Chirac serta PM Australia John Howard.

4.1.2 Structural Change
Structural Change (perubahan struktural) atau yang dapat diidentifikasikan sebagai situasi dan kondisi domestik pada suatu negara, juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perumusan dan pelaksaaan kebijakan luar negeri oleh aparatur negara yang berwenang. Perubahan struktural yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi sosial politik masyarakat atau bangsa Iran terhadap pemerintahannya dan lingkungan eksternal negaranya yaitu sistem internasional.
Kondisi domestik yang berlangsung di negara Iran, pada masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad atau pada masa pemerintahan sebelumnya adalah suatu kondisi dimana sebagian besar rakyat Iran rela untuk turun beramai-ramai ke jalanan untuk berdemonstrasi menentang ataupun menyatakan dukungannya terhadap pemerintahan yang sedang berjalan, dimana hal ini menunjukkan kesadaran berdemokrasi masyarakatnya.
Ada banyak jenis demonstrasi yang dilakukan orang-orang Iran. Dua demonstrasi yang pasti digelar setiap tahun adalah demonstrasi hari berdirinya Republik Islam tanggal 22 Bahman (kalender Iran) atau bertepatan dengan tanggal 11 Februari, dan demonstrasi Yaumul Quds yang dilangsungkan setiap Jumat terakhir di bulan Ramadhan. Dalam sejarah kontemporer rakyat Iran, turun ke jalan memang selalu menjadi sarana perjuangan menumbangkan rezim yang tidak mereka sukai. Tahun 1908, melalui demonstrasi masif dengan dipimpin para ulama, rakyat Iran berhasil memaksa raja mereka untuk membentuk parlemen dan membatasi kekuasaan monarkhi. Tahun 1940-an, kembali dengan dukungan para ulama, rakyat melakukan demonstrasi menuntut nasionalisasi minyak Iran. Puncaknya, demonstrasi besar-besaran tahun 1979, yang berujung pada tumbangnya rezim Pahlevi dan terputusnya infiltrasi Amerika Serikat di Iran (dinasulaeman.wordpress.com).
Uniknya, demonstrasi tanggal 22 Bahman di Iran selalu menjadi parameter dukungan kepada pemerintah Islam, dan media-media Barat selalu mengecilkan jumlah peserta demonstrasi itu. Kenyataannya, peserta demonstrasi adalah jutaan orang (di seluruh Iran), tapi media-media seperti BBC, CNN, Fox News, menyebutnya ratusan ribu atau kadang bahkan hanya ribuan saja. Menjelang demonstrasi, pemerintah Amerika Serikat melalui channel televisi satelit berbahasa Persia (dipancarkan langsung dari Amerika Serikat), memprovokasi massa agar tidak turun ke jalan. Namun, propaganda pemerintah Iran lebih canggih lagi, dengan cara membangkitkan semangat nasionalisme dan anti Amerika. Hasilnya, tiap tanggal 22 Bahman, jutaan massa turun ke jalan. Di Teheran, mereka menempuh jarak berkilo-kilo menuju Azadi Square (Bundaran Kebebasan) yang menjadi pusat demonstrasi dan di sana presiden akan memberikan pidatonya. Seringkali, mereka juga menembus hujan salju yang lebat karena bulan Bahman datang di musim salju (dinasulaeman.wordpress.com).
Demonstrasi biasanya dimulai dari bundaran (square) terdekat, yang sudah ditetapkan sebagai titik awal dimulainya demonstrasi. Orang-orang dari rumah masing-masing akan menaiki kendaraan umum atau mobil pribadi ke bundaran itu, lalu bergabung dengan massa berjalan kaki menuju Azadi Square. Misalnya, bundaran terdekat dari rumah kami adalah Sadeqieh Square. Dari sana, orang-orang harus berjalan kaki sejauh sekitar lima kilometer dan badan jalan yang menghubungkan Sadeqieh Square dengan Azadi Square akan penuh sesak oleh massa. Orang-orang yang tinggal di kawasan lain harus menempuh jarak yang lebih jauh lagi, misalnya di kawasan Ferdowsi Square yang berjarak delapan kilometer dari Azadi Square. Namun meski sangat jauh, jarak delapan kilometer itu tetap saja penuh sesak dan orang-orang harus berjalan pelan-pelan. Mereka membawa poster-poster bertuliskan Marg bar Amerika (kematian bagi Amerika), Marg bar Israil (kematian bagi Israel), atau Energi Hastei Haq-e Musalam-e Mast (energi nuklir adalah hak kami) (dinasulaeman.wordpress.com).
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dikatakan bahwa bangsa Iran merupakan bangsa yang mempunyai nasionalisme yang tinggi, bangsa yang bersikap aktif terhadap pemerintahannya, bangsa yang secara aktif menyuarakan suara mereka kepada pemerintahannya baik dalam bentuk dukungan atau tentangan.
Secara umum, pada masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad, bangsa Iran adalah bangsa yang menyatakan dukungan yang sangat besar terhadap pemimpin negaranya, berbagai dukungan rakyat dapat diperoleh oleh Mahmoud Ahmadinejad dalam setiap kebijakan yang diambilnya, terutama dukungan bangsa Iran terhadap pemerintahannya yang tetap mempertahankan usaha pengembangan teknologi nuklir dalam upaya pemenuhan kebutuhan listrik nasional dan dengan tujuan damai. Berbagai kecaman telah disampaikan kepada Iran oleh banyak pihak-pihak yang dianggap berkepentingan terhadap perdamaian dunia seperti Amerika Serikat, PBB dan IAEA (International Atomic Energy Agency), namun Iran tetap dengan keputusan yang telah diambilnya.
Semakin deras desakan Amerika agar Iran menghentikan pengayaan uraniumnya, justru rakyatnya semakin bersemangat untuk mendukung pemerintahnya untuk meneruskan usaha nuklir tersebut. Isu nuklir Iran ini melahirkan sebuah konsep yaitu: kekompakan nasional. Ketika Presiden Iran Ahmadinejad untuk pertama kalinya mengumumkan secara resmi di Kota Mashhad (11 April 2006) bahwa Iran berhasil memperkaya uranium sebesar 3,5 persen, Rafsanjani yang dulu merupakan saingan berat Ahmadinejad dalam pemilu, juga menyampaikan pengumuman serupa beberapa hari sebelumnya saat berkunjung ke Kuwait dan Suriah.
Hadad Adil, ketua parlemen, juga selalu menyelipkan topik nuklir damai Iran dalam berbagai lawatan ke luar negeri yang dilakukannya. Sementara itu, di dalam negeri, sejak Ahmadinejad menjadi presiden, isu nuklir selalu saja menjadi salah satu topik dalam khutbah-khutbah Jumat dan dalam pidato presiden pada berbagai kunjungan kerjanya ke berbagai kota. Hampir semua channel televisi, dengan cara sendiri-sendiri, berusaha menjelaskan apa itu nuklir dan apa pentingnya nuklir bagi bangsa Iran, dengan cara yang sederhana. Sentimen nasionalisme dan keislaman sangat dikait-kaitkan dalam hal ini. Frasa yang selalu diulang-ulang adalah, “energi nuklir adalah satu-satunya pilihan terbaik ketika minyak kita habis 25 tahun lagi”, “Amerika Serikat dan Barat menghalang-halangi kita untuk menguasai teknologi nuklir karena mereka tidak ingin ada bangsa muslim yang independen,” atau “mereka tahu pasti bahwa kita tidak berniat membuat senjata, tapi terus menghembuskan isu itu karena mereka tidak ingin bangsa Iran maju di bidang nuklir.”
Sosialisasi masalah pentingnya nuklir bagi bangsa Iran sedemikian gencar dilakukan sampai ke sekolah-sekolah dasar sekalipun. Berhasilnya sosialisasi nuklir membuat langkah pemerintah Iran untuk berkeras kepala di hadapan tekanan Barat dalam melanjutkan proyek nuklirnya, mendapat dukungan menyeluruh dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak ada satu kelompok pun, bahkan orang-orang reformis, yang berani menyatakan tidak setuju terhadap nuklir, karena pendapat seperti itu adalah pendapat yang sangat tidak populer, dan bagi mereka yang berkarir di bidang politik, bisa berarti bunuh diri karena tidak akan mendapat simpati rakyat. Orang-orang Teheran, yang biasanya paling keras mengkritik pemerintah, dalam polling justru 98 % mendukung langkah pemerintah dalam masalah nuklir.
Dukungan yang sedemikian luas dari rakyat inilah yang membuat banyak analis Barat yang mengemukakan bahwa serangan militer Amerika Serikat ke Iran tidak akan efektif. Antara lain, seperti kata Flynt Leverett, analis Timur Tengah yang pernah bekerja untuk National Security Council pada pemerintahan Bush, “Serangan militer terhadap Iran akan membangkitkan semangat perlawanan bangsa Iran terhadap Amerika Serikat dan meningkatkan dukungan terhadap rezim (pemerintah Islam)” (dinasulaeman.wordpress.com).

4.1.3 Leadership
Ahmadinejad, dalam menjalani kepeminpinannya, ia terinspirasi oleh pemikiran dan perjuangan ulama besar Iran yang sempat terusir dari negeri Iran selama 15 tahun ke Perancis, yaitu Ayatollah Khomeini dalam memandang pemerintahan monarki Syah Pahlevi. Sejak tahun 1963, Khomeini memproklamirkan penggulingan pemerintahan Syah dan menempatan dirinya sebagai pemimpin dari pihak-pihak oposisi di Iran.
Selama masa pengasingannya di Neauphle-le-Chateau, Perancis, jutaan rakyat Iran hampir setiap hari mendengar pesan-pesan Khomeini. Jaringan pendukung Khomeini, dari kalangan ulama, secara aktif menyebarkanluaskan pamflet dan kaset ceramah Khomeini. Selain dari kalangan ulama, jaringan pendukung Khomeini juga berasal dari kelompok-kelompok pengajian Islam terdidik yaitu kalangan kampus, seperti mahasiswa dan para pengajarnya. Mahmoud Ahmadinejad merupakan sosok yang ikut terbakar dan terinspirasi oleh pesan-pesan revolusioner Khomeini.
Pada akhir tahun 1970an, Ahmadinejad ikut secara aktif dalam menyebarluaskan poster-poster dan kaset-kaset Khomeini. Ahmadinejad bahkan mempunyai sebuah mesin cetak yang rutin ia gunakan untuk mencetak pamflet yang bertujuan untuk menggoyahkan pemerintahan Syah. Ahmadinejad juga ikut membantu kelompok Islam dalam berebut pengaruh di universitas dan jalan-jalan. Ahmadinejad menerbitkan sebuah majalah yang bertajuk Jiq va Dad (Rintihan dan jeritan), untuk dijual dipintu masuk Universitas Teheran, Ahmadinejad kadang juga membuka forum debat dengan kelompok-kelompok Marxis.
Penyebaran poster, kaset, ceramah keagamaan dan kian seringnya kehadiran ulama di berbagai tempat membuka mata warga Iran mengenai pemerintahan Syah yang sebenarnya, yang dipenuhi oleh korupsi oleh Syah sendiri dan koloni-koloninya. Selain itu juga beredar berbagai berita mengenai Syah yang dianggap telah mencemarkan pemerintahan Islam Iran seperti kabar mengenai kepindahan keyakinan Syah menjadi Yahudi.
Demonstrasi terus berlanjut di berbagai belahan Iran, di Teheran, Ahmadnejad bersama ratusan ribu mahasiswa lainnya terus melakukan demonstrasi dan mengecam pemerintahan Syah dan mengagungkan Khomeini sebagai pimpinan alternatif. Menyusul kalangan buruh dari berbagai sektor juga ikut menyuarakan dukungannya yang mengakibatkan produksi minyak Iran, pertama kalinya dalam sejarah sama sekali berhenti. Pemogokan ini nyaris melumpuhkan seluruh sendi perekonomian Iran.
Pada 7 September, sekitar setengah juta penduduk Teheran turun ke jalan menyuarakan aspirasinya dengan mengusung slogan “Mampuslah Pahlevi”, “Syah Bajingan” dan “Usir Amerika”, ini merupakan demonstrasi terbesar dalam sejarah Iran. Syah merespon dengan mengerahkan semua kekuatan militernya, demonstrasi ini menelan korban jiwa hingga ribuan orang dan dikenal dengan peristiwa Jumat Kelabu. Pada Desember, demonstrasi mencapai puncaknya, dua juta lebih penduduk Iran turun ke jalan memprotes Syah dan meneriakkan nama Khomeini sementara memilih untuk bersikap netral. Pada tanggal 16 Januari 1979 Syah dan permaisurinya Putri Farah kabur ke Mesir, kekuasaan monarki Syah Pahlevi berakhir dua minggu setelahnya. Seiring dengan kedatangan Khomeini dari Paris ke Teheran yang disambut oleh empat juta warga Iran.
Di bandara Khomeini menyampaikan pidato singkat, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh masyarakat Iran yang mendukung revolusi. Khomeini berjanji bahwa Revolusi Islam Iran akan meningkatkan kesejahteraan kalangan mustadafin yaitu kalangan yang selama ini tersisihkan. Bagi Ahamdinejad, revolusi Islam dengan Khomeini telah menjadi inspirasi dan pedoman dalam menjalani hidupnya di kemudian hari (Labib, et. all., 2007: 93-103).
Ahmadinejad dianggap sebagai revolusioner sejati bagi masyarakat Iran sebagaimana halnya dengan Imam Khomeini namun tentunya dengan gayanya yang sangat berbeda. Ahmadinejad terlihat jauh lebih awam dan normal, kontras sekali dengan mentor spiritualnya yang sangat khas dan mystique. Ahmadinejad menjadi tokoh revolusioner yang sangat mudah dijangkau, dipahami dan diteladani. Dengan melekatnya predikat revolusioner dalam pengertian bahwa di puncak kekuasaan politiknya, dalam tingkat yang sama juga dituntut untuk melawan pengaruh kekuasaan terhadap aspek batin yang digengamnya. Akibatnya, sebagaimana mentornya, dia sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuasaan yang diraihnya. Bahkan, kekuasaan itu seolah-olah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Khomeini memang contoh par excellence bagi seorang revolusioner dalam pengertian ini. Pada saat mencalonkan diri sebagai kandidat presiden Iran, Ahmadinejad mencetuskan apa yang disebut Revolusi 1384 H.S atau Revolusi Ketiga yang merupakan revitalisasi Revolusi 1979. Tuntutan Revolusi Ketiga adalah perubahan struktur elit dan pola menjalankan roda kekuasaan. Dia menuntut elit berkuasa yang ikut menggerakkan Revolusi 1979 untuk kembali menjadi revolusioner kembali menjadi bagian rakyat, kembali merasakan derita dan kemiskinan rakyat (Labib, et. all., 2007 : 148-151)
Salah satu fatwa mendiang Khomeini, selaku pimpinan tertinggi Republik Islam Iran, yang cukup keras terhadap kebijakan politik luar negeri Iran pada masa itu adalah berkompromi dengan Barat dan Timur merupakan suatu pengkhianatan terhadap Islam. Pandangan ini kemudian dijadikan landasan kebijakan luar negeri Iran. Hal ini dijalankan oleh presiden Iran selama masa kepemimpinan Khomeini. Dikarenakan Ahmadinejad terinspirasi oleh karakter dan pemikiran Khomeini maka arah politik luar negeri Iran pada saat ini memiliki beberapa persamaan terutama mengenai sikap kompromi terhadap Barat. Jelas sekali Ahmadinejad sangat terpengaruh oleh gaya kepemimpinan Khomeini dan ide revolusi 1979. Maka tak heran apabila dalam beberapa kesempatan Presiden Ahmadinejad berusaha untuk menghidupkan kembali semangat revolusi 1979 ke dalam sendi-sendi masyarakat Iran.

4.2 Kebijakan Luar Negeri Iran di Masa Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad (2005-2007)

Iran telah memiliki reaktor nuklir sebagai pembangkit listrik sejak dari masa pemerintahan Syah. Namun pembangunan reaktor tersebut tertunda dikarenakan revolusi Islam 1979 yang mengakibatkan Iran diembargo dan diputuskannya kontrak kerjasama pembangunan reaktor nuklir oleh perusahaan asing dari negara Argentina, Jerman dan Spanyol terkait rencana membangun reaktor nuklir di dekade 1980an. Kegagalan tersebut semata-mata tidak lepas dari peranan dan tekanan Amerika dan Israel. Sejak saat itu program pengembangan nuklir Iran berhenti total. Sampai pada akhirnya, tahun 1990 Rusia dan Cina bersedia membantu untuk membangkitkan kembali aktivitas riset nuklir Iran. Pada tahun yang sama Rusia mengirimkan beberapa bantuan teknis untuk pendirian fasilitas reaktor nuklir. Kemudian pada tahun berikutnya giliran Cina mengirimkan 1800 gram beberapa jenis Uranium ke Teheran, untuk selanjutnya dipakai dalam proses pengayaan bahan nuklir. Di tahun 1995 Rusia dan Iran memantapkan kesepakatan akhir mengenai proses penyempurnaan pembangunan reaktor nuklir Iran.
Hingga tahun 2002, Iran tetap melaksanakan program pengembangan nuklirnya di bawah pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Pada tahap ini, Amerika Serikat beserta sekutunya semakin gerah melihat program pengembangan nuklir Iran, sehingga akhirnya ketegangan dan krisis Amerika Serikat-Iran memuncak, saat Iran berhasil menemukan uranium di beberapa tambang wilayah Yadz, yaitu salah satu titik terang yang bakal membawa Iran untuk mencapai cita-citanya di bidang nuklir (Simanjuntak, D. Danny H. 2007 : 40-41).
Menurut Smith Alhadar, Wakil Ketua The Indonesia Society for Middle East Studies, beberapa hal telah menyebabkan Iran bersikap keras. Pertama, pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang konservatif tidak kompromi soal haknya untuk mengembangkan teknologi nuklir. Berdasarkan traktat internasional soal larangan pengembangan nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty/NPT), setiap negara yang meratifikasi perjanjian internasional itu berhak memiliki program nuklir untuk kepentingan sipil. Sikap Ahmadinejad didukung mayoritas rakyat dan juga pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei. Hingga saat ini tidak ada bukti Iran memiliki program senjata nuklir. Kedua, Iran menganggap posisinya cukup kuat, dimana Rusia dan China, dua negara anggota tetap dan pemegang hak veto DK PBB, mendukung Iran. Iran memiliki kuota produksi minyak sebanyak 3,5 juta barrel per hari. Ketiga, Iran meyakini Amerika Serikat dan negara-negara Barat sekutunya tidak akan melakukan serangan militer karena risikonya terlalu besar. Bila instalasi nuklir Iran sampai diserang, seluruh basis militer Amerika Serikat di Teluk Persia, Israel, Turki, Asia Tengah, dan Asia Selatan akan terancam (www.kompas.com).
Ahmadinejad memiliki sejumlah alasan rasional yang dapat dijadikan sebagai dasar mengapa Iran tetap melanjutkan program nuklirnya. Pertama, nuklir merupakan teknologi prestisius yang dapat membawa Iran menuju bangsa yang maju. Konkretnya jika Iran berhasil memanfaatkan teknologi nuklir untuk memenuhi kebutuhan listriknya, maka Iran akan dapat membangun pembangkit tenaga yang jauh lebih murah dan sangat efektif. Dengan begitu anggaran subsidi untuk konsumsi listrik nasional yang teus meningkat dari tahun ke tahun dapat dikurangi secara drastis. Itu artinya, untuk jangka panjang Iran akan sangat dimungkinkan menjadi negara yang mandiri hampir di semua bidang. Dengan memiliki alternatif teknologi nuklir, dan cadangan minyak yang besar, Iran jelas akan lahir menjadi negara kaya. Sedangkan untuk jangka pendeknya Iran akan memperoleh devisa negara yang sangat besar, seiring meningkatnya harga gas dan minyak dunia.
Kedua, teknologi nuklir dapat membantu Iran dalam melawan segala bentuk penindasan dan dominasi negara-negara barat atas Iran khususnya, serta negara-negara berkembang umumnya. Ini jelas merupakan perisai tangguh yang dapat menangkis geliat hegemoni barat atas Iran.
Ketiga, adalah hak legal bangsa Iran untuk melakukan dan tetap melanjutkan program pengembangan nuklir. Itu sudah menjadi tuntutan hampir semua rakyat Iran meski disampaikan dengan beragam perbedaan pendapat yang ada. Lebih dari itu program pengembangan nuklir dinilai dapat meningkatkan semangat kemajuan seluruh rakyat Iran, yang selama ini hidup dalam berbagai tekanan, embargo, dan kekangan dunia barat sejak bergulirnya Revolusi 1979. Ahmadinejad menekankan bahwa, energi nuklir memiliki banyak manfaat hampir pada semua bidang kehidupan, termasuk bidang pertanian dan kedokteran. Pada saat energi fosil telah habis terkuras maka Iran akan mulai menjual energi nuklir pada bangsa lain dengan harga yang sangat tidak terjangkau. Dengan begitu Iran dapat mendominasi dunia, dan terus mempertahankannya. Nuklir Ahmadinejad rupanya bukan hanya bertujuan untuk kemajuan Iran, tetapi juga untuk menciptakan dominasi Iran atas dunia (Simanjuntak, D. Danny H. 2007: 38-39).
Pada suatu pernyataan Ahmadinejad meragukan terjadinya peristiwa holocaust; pembantaian ras Yahudi di Eropa oleh rezim Nazi, pada masa Perang Dunia II. Disebutkan bahwa, terdapat 6 juta jiwa yang menjadi korban dari peristiwa tragis tersebut. Peristiwa holocaust juga, bukan hanya dialami oleh ras Yahudi, namun juga oleh sejumlah ras lainnya di Eropa, yang dianggap ras rendahan oleh Nazi. Sehingga perlu dimusnahkan dari muka bumi (Simanjuntak, D. Danny H. 2007: 91).
Ahmadinejad mengatakan bahwa kalaupun hal tersebut terjadi, seharusnya sebagai kompensasi didirikan negara Israel di Eropa Barat atau di Amerika Serikat, bukan di tanah Palestina. Lebih jauh lagi dikatakannya bahwa keberadaan Israel sebagai sebuah negara di Timur Tengah sebaiknya dihapuskan saja. Ahmadinedjad menunjukkan sikap yang keras terhadap Barat dan Israel (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/03/0901.htm).
Tujuan Ahmadinejad mengeluarkan pernyataan yang menyangkal kebenaran peristiwa holocaust itu tersendiri karena dijadikan alasan pembenaran atas berdirinya negara Israel. Dimana kaum Zionis mendramatisir jumlah korban Yahudi dan menggunakan peristiwa itu untuk memperoleh simpati dan perhatian publik dunia. Walaupun Ahmadinejad sendiri tidak mengerti tentang gambaran detail dan sejauh mana sejarah holocaust itu terjadi, namun sangat penting untuk mempertanyakan kembali kebenaran yang sesungguhnya mengenai holocaust itu sendiri.
Sumber konflik berkepanjangan di kawasan Timur Tengah ini sebenarnya berasal dari daerah Palestina dan Israel. Dengan melihat sejarah berdirinya negara Israel di bumi Palestina, Ahmadinejad menarik perhatian publik dunia dengan menyangkal holocaust dan merunut proses pendirian negara Israel. Dengan adanya pembunuhan besar-besaran oleh Nazi pada masa Perang Dunia II yang kabarnya melenyapkan 6 juta jiwa Yahudi dan ras lainnya. Melihat kondisi tersebut banyak kaum Yahudi yang kemudian berimigrasi dari Eropa dan pindah ke tanah Palestina. Dengan demikian semakin banyak kaum Yahudi yang bermukim di Palestina. Dalam perjalanannya, fenomena dan istilah holocaust menjadi alasan yang kian mendorong kaum Yahudi untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Pada akhirnya konflik Palestina tersebut membuat Inggris yang mendukung imigrasi Yahudi ke Palestina melalui Deklarasi Balfour itu ikut turun tangan namun karena dirasa tidak sanggup mengatur masalah itu bagaikan bola salju yang bergulir, Inggris kemudian menyerahkan masalah ini ke tangan PBB pada tahun 1947. Pada tanggal 29 November 1947, Sidang Umum yang digelar PBB menyepakati untuk membagi Palestina menjadi dua wilayah, Arab dan Yahudi. Penduduk lokal Palestina jelas menolak solusi tersebut yang akhirnya menyulut perang dan konflik hingga saat ini.
Melalui pemahaman sejarah tersebut, Ahmadinejad menyarankan bahwa solusi dari konflik terpanjang di kawasan Timur Tengah yaitu masalah Palestina-Israel adalah dengan beberapa negara Eropa yang terlibat dalam peristiwa holocaust itu memberikan sebagian wilayahnya untuk dihuni oleh kaum Zionis Yahudi. Karena Palestina pada saat peristiwa itu terjadi tidak memiliki tanggung jawab untuk menampung dan memberikan sebagian wilayahnya untuk didirikan sebuah negara bagi bangsa yang lain yaitu Yahudi. Ahmadinejad beranggapan bahwa holocaust merupakan dalih bagi kaum Zionis untuk merampas tanah Palestina dan mendirikan negara Israel. Dengan holocaust pula kaum Yahudi menggunakannya untuk memperoleh simpati dan dukungan perjuangan dari publik dunia untuk merebut tanah Palestina.
Apabila hal yang dikemukakan oleh Ahmadinejad ini diterima maka Palestina dapat kembali mendapatkan seluruh wilayahnya dan juga lenyapnya Israel dari peta kawasan Timur Tengah.
Irak, pasca jatuhnya Saddam Hussain, terpecah menjadi beberapa kelompok yang kerap terlibat dalam aksi pemberontakkan dan perang sipil. Ditambah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat yang dianggap sebagai salah satu penyebab instabilitas keamanan dalam negeri Irak. Dalam upaya pembangunan rekonstruksi dan perdamaian di Irak, pemerintah Iran melakukan upaya diplomasi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Timur Tengah dengan menawarkan kerjasama untuk membantu rakyat Irak dan menciptakan stabilitas di Irak. Salah satu negara yang diberikan tawaran kerjasama dalam kawasan tersebut adalah Arab Saudi yang kemudian memberikan tanggapan positif tehadap penawaran tersebut (http://www.eramuslim.com/berita/int /7118145702-iran-ajak-arab-saudi-bersama-sama-bantu-rakyat-irak.htm?rel).
Pendekatan Iran pada Arab Saudi ini sebagai upaya untuk mengimbangi upaya Amerika Serikat yang ingin mengisolasi Iran dan mencari dukungan dari negara sekutunya di kawasan Teluk atas kebijakan baru Presiden Amerika Serikat di Irak. Walaupun pemerintah Amerika Serikat secara terbuka telah melakukan dialog bersama dengan negara kawasan Timur Tengah lainnya, termasuk Iran dalam memulihkan kondisi keamanan di Irak.
Menurut Iran, salah satu penyebab instabilitas politik di kawasan Timur Tengah karena banyaknya pihak yang berkepentingan berebut kekuasaan khususnya dalam hal pengelolaan minyak di daerah yang kaya akan sumber alam tersebut. Kawasan Timur Tengah terkenal dengan cadangan minyaknya yang sangat berlimpah dan dengan kebutuhan saat ini yang menjadikan minyak sebagai sumber energi utama dunia. Menggunakan asumsi bahwa dengan menguasai sumber energi maka dapat menguasai sendi kehidupan suatu bangsa. Karena itu banyak negara yang berusaha untuk menguasai kawasan tersebut terutama Barat yang pada saat dimulai eksplorasi minyak mereka memiliki teknologi dan beberapa daerah kawasan Timur Tengah juga merupakan daerah koloni dari negara Barat itu.
Keberadaan pihak Barat di kawasan Timur Tengah ini dapat dikategorikan sebagai intrusive states dan Amerika Serikat dapat dijadikan sebagai representasi keberadaan pihak barat di kawasan ini. Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan militer di kawasan Timur Tengah seperti di Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Turki dan Irak untuk menjaga kepentingan Amerika di kawasan tersebut. Dengan menguasai Irak maka Amerika Serikat dapat mengontrol produksi dan pendistribusian minyak dari negara yang memiliki cadangan minyak kedua terbesar di dunia tersebut. Memiliki kontrol atas suatu sumber energi yang besar dan krusial bagi kepentingan dunia dapat diartikan juga memiliki kekuatan dalam power dalam sistem internasional. Amerika Serikat menguasai dan mengontrol Irak melalui kekuatan militernya dan memberikan dukungan penuh terhadap Israel yang menjadikan konflik Palestina berkepanjangan.
Keberadaan Amerika Serikat yang seperti inilah yang menjadi alasan Iran menentang intervensi Barat di kawasan. Menurut Iran, Amerika Serikat sudah menimbulkan terlalu banyak masalah bagi negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah. Karena itu pula banyak daerah kepentingan AS yang diserang oleh kelompok-kelompok militan seperti yang ada di Libanon, Irak dan Palestina atau yang sering disebut Amerika Serikat dengan teroris.
Terdapat rumor yang berkembang di dunia internasional bahwa Amerika Serikat akan berusaha menyerang Iran seperti yang dilakukan pada invasi Amerika Serikat ke Irak. Hal ini tentunya sangat mengancam stabilitas keamanan kawasan Timur Tengah apabila hal tersebut terjadi. Sebagai masukan bahwa Iran memfasilitasi pasukan Hizbullah yang berada di Lebanon. Dan pada suatu kesempatan Ahmadinejad pernah mengatakan bahwa apabila Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Iran maka jutaan pasukan Hizbullah sudah siap sedia untuk ikut melawan balik serangannya. Setelah Irak yang terang-terangan menentang Amerika Serikat, Iran juga merupakan negara satu-satunya yang menentang hegemoni Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah dan dijadikan simbol perlawanan terhadap hegemoni Amerika Serikat bagi rakyat Iran maupun publik dunia.
Harian Amerika, Washington Post, yang mengutip pernyataan dari sejumlah narasumber anonim menuliskan bahwa Iran akan terlebih dahulu menyerang target-target Amerika yang berada di Irak, kemudian baru membombardir rakyat-rakyat sipil di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara lainnya kemungkinan besar termasuk Israel.
Amerika Serikat berharap agar banyak pihak yang terlibat dalam melakukan serangan militer ke Iran. Namun jika banyak publik internasional yang merasa keberatan atas rencana tersebut dan tidak membantu Amerika Serikat, maka Amerika Serikat akan siap melancarkan serangan udara secara sendiri. Kemungkinan besar, hanya Israel yang akan membantu Amerika dalam melancarkan serangan itu. Serangan udara yang dilancarkan kemungkinan hanya terbatas pada instalasi-instalasi nuklir Iran saja. Amerika Serikat belum memiliki rencana serius untuk melancarkan serangan hingga ke Teheran (Simanjuntak, D. Danny H. 2007: 49-50).
Untuk menghadapi ancaman serangan Amerika Serikat ini Ahmadinejad menyatakan bahwa rakyat Iran siap untuk mempertahankan tanah airnya dengan segenap tenaga bahkan dengan kuku dan giginya sampai darah penghabisan. Karena itu Ahmadinejad mengingatkan bahwa Iran bukanlah bangsa yang kecil dan lemah dan menyerang Iran tidaklah mudah karena dengan itu pula menyerang bangsa Iran yang besar dan kuat.

4.3 Posisi Iran Sebagai Kekuatan Baru di Kawasan Timur Tengah
Keberhasilan pemerintah Ahmadinejad di bidang politik luar negeri harus dilihat ke belakang, ketika Ahmadinejad baru saja terpilih sebagai presiden ke sembilan Republik Islam Iran. Pada masa-masa itu, terjadi krisis yang serius dalam hubungan luar negeri Iran dengan Barat. Krisis ini berpulang pada masalah program nuklir Iran. Barat tidak setuju Iran menguasai teknologi nuklir, sekalipun untuk tujuan damai. Waktu itu, kebijakan politik luar negeri Iran terkait isu nuklir lebih toleran mengikuti keinginan Barat. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Iran. Melihat kesempatan itu, Amerika Serikat dan sekutunya mempretensikan Iran dalam posisi lemah. Pada masa kampanye pemilihan presiden Iran yang kesembilan, media-media Barat berusaha meyakinkan rakyat Iran bahwa seandainya Ahmadinejad terpilih menjadi presiden, hubungan Iran dengan Barat akan memasuki babak-babak terburuknya. Konflik Iran dengan Barat bakal tidak terhindarkan.
Rakyat Iran tidak peduli dengan propaganda media-media Barat dan mengikuti pemilihan umum. Ahmadinejad terpilih sebagai presiden Iran yang kesembilan. Dalam kondisi yang demikian, pemerintah Ahmadinejad harus mencari solusi keluar dari tekanan Barat yang dimotori Amerika Serikat. Pemerintah Ahmadinejad tidak memilih kebijakan asal selamat dan mundur dari tekanan Barat, melainkan bersikukuh memperjuangkan prinsip-prinsip dan cita-cita revolusi sejalan dengan keinginan bangsa Iran. Rakyat Iran menuntut hak-haknya terkait dengan pemanfaatan energi nuklir untuk tujuan damai. Keinginan ini yang diperjuangkan oleh pemerintah Ahmadinejad hingga akhir dua tahun pertama masa jabatannya. Berdasarkan alasan-alasan inilah, sejak awal, pemerintah Ahmadinejad menolak politik hegemoni Barat yang bertujuan menghalangi Iran menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Pemerintah Ahmadinejad memilih kebijakan menentang hegemoni Barat.
Krisis nuklir Iran berubah menjadi masalah internasional berkat tekanan dan konspirasi yang dilakukan Amerika dan sekutunya. Hal ini membuat pemerintah Ahmadinejad pada tahun pertama di bidang politik luar negerinya tidak diberi pilihan lain. Pemerintahnya mengkonsentrasikan kekuatannya untuk menyelesaikan masalah ini. Dari sini, masalah nuklir menjadi fokus utama diplomasi Iran. Namun, kebijakan politik luar negeri Iran berhasil mengubah masalah ini menjadi simbol perjuangan rakyat Iran menentang hegemoni Barat. Krisis nuklir Iran menjadi ujian bagi rakyat dan pejabat pemerintah untuk mengukur seberapa besar mereka membela kemandirian politik luar negeri Iran.
Saat ini hegemoni Barat berhadap-hadapan dengan Iran dalam masalah nuklir. Barat khawatir bila Iran mampu meraih semua tujuan yang diinginkannya di bidang pemanfaatan damai energi nuklir, Iran akan menjadi simbol bagi seluruh negara berkembang. Masyarakat tertindas di dunia akan meniru apa yang telah dicapai oleh bangsa Iran dan akan mempermasalahkan otoritas monopoli sejumlah negara atas energi nuklir. Atas dasar ini, dalam dua tahun terakhir ini, Amerika Serikat, sejumlah sekutu Eropanya dan Rezim Zionis Israel mengerahkan segala kekuatannya untuk menghentikan program damai energi nuklir Iran.
Ada dua hal yang membuat pemerintah Ahmadinejad memperkuat politik luar negerinya. Pertama, tekanan dan serbuan yang luas dari hegemoni Barat dan peran vital energi nuklir dalam kemajuan dan pembangunan negara mengharuskan pemerintah Ahmadinejad memperkuat politik luar negerinya. Terlebih lagi, saat melihat keinginan kuat rakyat Iran untuk mendapatkan haknya memanfaatkan energi nuklir untuk pembangkit tenaga listriknya. Kemampuan politik luar negeri Iran untuk keluar dari tekanan Barat dalam masalah nuklir mengubah stigma sebelumnya. Saat ini, kemampuan nuklir Iran berubah menjadi sebuah kekuatan diplomatik dalam politik luar negeri Iran dengan dunia internasional. Hal itu karena kemajuan pesat Iran di bidang ekonomi, budaya dan sosial ditambah sekarang Iran telah menjadi salah satu kekuatan nuklir dunia. Saat ini, masalah nuklir Iran menjadi kekuatan diplomasi pemerintah Ahmadinejad.
Keberhasilan politik luar negeri Iran dalam dua tahun pertama masa pemerintahan Ahmadinejad dapat ditelusuri di kawasan Timur Tengah. Sistem diplomasi Iran dengan memanfaatkan seluruh kemampuan yang dimiliki berhasil dalam aksi-aksinya di Irak, Afghanistan, Palestina, Lebanon dan juga Amerika Latin. Kemampuan diplomasi pemerintah Ahmadinejad mengubah Iran menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah. Perundingan segi tiga Baghdad menunjukkan posisi Iran sangat menentukan di peta politik Timur Tengah. Perundingan segi tiga terlaksana setelah permintaan resmi Amerika dan desakan pemerintah Irak. Satu hal yang menggembirakan, ketika Timur Tengah menjadi pusat konsentrasi tekanan politik dan militer Amerika dan sekutunya terhadap Iran, keberhasilan diplomasi Iran lebih mendominasi. Pejabat-pejabat tinggi Irak lebih menganggap Iran sebagai negara sahabat dan lebih dekat dengan mereka.
Di kawasan Teluk Persia, politik luar negeri Iran yang aktif dan cerdas ditambah kunjungan Presiden Mahmud Ahmadinejad ke Arab Saudi dan Emirat Arab memperkokoh hubungan Iran dan negara-negara di sekitar Teluk Persia. Pada saat yang sama, kunjungan pejabat-pejabat tinggi Amerika, khususnya Condoleeza Rice dan Robert Gates, Menteri Luar Negeri dan Pertahanan Amerika, gagal mengajak negara-negara Arab memusuhi Iran. Di Afghanistan, Hamid Karzai, Presiden Aghanistan, membela hubungan mesra Iran dan Aghanistan. Pembelaannya disampaikan saat kunjungannya ke Amerika. Kalangan politisi dan media Barat menilai itu sebagai kemenangan lain diplomasi Iran di kawasan.
Kebijakan politik luar negeri Iran di kawasan Timur Tengah dan seluruh negara-negara Islam berlandaskan upaya mewujudkan persatuan di dunia Islam. Kunjungan-kunjungan Presiden Ahmadinejad ke negara-negara seperti Suriah, Malaysia, Azerbaijan, Tajikistan, Qatar, Sudan, Emirat dan Arab Saudi bertujuan mewujudkan persatuan negara-negara Islam. Menteri Luar Negeri Iran di tahun pertama menjabat telah mengunjungi 21 negara dan tahun kedua 26 negara-negara Islam menjadi tamu Manucher Mottaki.


4.4 Peranan Ahmadinejad Terhadap Kebijakan Luar Negeri Iran Dalam Menciptakan Iran Sebagai Kekuatan Baru di Kawasan Timur Tengah (2005-2007)
Sejak terpilih sebagai Presiden Iran pada tahun 2005, Ahmadinejad telah menjalankan perannya sebagai seorang kepala negara. Peranan-peranan yang dilakukan oleh Ahmadinejad diantaranya adalah sebagai Chief of State, Chief of Diplomat, Chief of Executive, Chief of Legislator, Commander in Chief dan Chief of Foreign Policy.
Chief of State, peranan presiden Ahmadinejad sebagai Kepala Negara yang merepresantasikan negaranya dalam forum internasional. peran ini merupakan peran simbolik yang membuat presiden Ahmadinejad dapat mempromosikan, menyampaikan, dan mewakili nilai-nilai negara Iran yang dipimpin dalam kegiatan publik. Seperti menghadiri dan berperan serta dalam KTT OKI, OPEC Sidang PBB, dan forum internasional lainnya.
Chief of Diplomat, merupakan peranan presiden Ahmadinejad sebagai perunding tingkat tinggi dengan negara lain dimana presiden Ahmadinejad dapat mengirimkan dan menerima duta besar, memberi atau menunda pengakuan, memutuskan hubungan diplomatik, merundingkan perjanjian, dapat mengerahkan kekuatan bangsa untuk mendukung kebijakan luar negerinya. Dalam upaya mencari dukungan terhadap program nuklir damainya Presiden Ahmadinejad mengunjungi beberapa negara seperti Rusia, Cina, Venezuela dan Kuba misalnya. Presiden Ahmadinejad mengadakan perjanjian kerjasama dengan negara-negara tersebut untuk menjalin aliansi dan mendapatkan dukungan perlawanan terhadap tekanan politik Amerika Serikat dan sekutunya.
Chief Executive, presiden Ahamadinejad adalah kepala eksekutif, memiliki kewenangan membuat hukum dan menangani masalah-masalah kenegaraan. Presiden Ahmadinejad menerapkan aturan yang mengangkat posisi wanita dan anak-anak dalam bidang pendidikan dan sosial. Misalnya kebijakan pemisahan lift bagi wanita dan pria juga hak wanita untuk mendapatkan pendidikan tinggi.
Chief Legislator, merupakan suatu konsep yang menekankan pentingnya peranan presiden dalam proses legislatif. Peran presiden Ahmadinejad sebagai kepala legislator penting sekali dalam urusan luar negeri maupun domestik, karena kebijakan luar negeri memerlukan dukungan legislatif dan penerapan yang didukung oleh hukum. Keputusan Ahmadinejad mempertahankan program nuklir damainya didukung oleh pihak legislatif dalam parlemen Iran. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Ahmadinejad begitu bersikeras program nuklir ini harus tetap berjalan meski ditentang oleh Amerika Serikat dan sekutunya karena Ahmadinejad didukung oleh mayoritas rakyat melalui wakilnya di legislatif.
Commander in Chief, merupakan peran kepala pemerintahan sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata. Dalam menghadapi ancaman serangan militer Amerika Serikat, Presiden Ahmadinejad mengatur penempatan sejumlah pasukan untuk melawan balik dan menyatakan akan menggunakan senjata balistik terbarunya terhadap instalasi militer Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Presiden Ahmadinejad sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata berhak untuk mengatur pasukannya untuk menggunakan kekuatan militer dalam menghadapi ancaman tersebut.
Chief of Foreign Policy, merupakan peran pemerintahan sebagai pembuat kebijakan tertinggi dibidang urusan luar negeri. Peran ini menuntut presiden Ahmadinejad untuk bertanggungjawab atas keamanan dan kemakmuran bangsa dalam rangka memaksimalkan kepentingan nasional. Tugas kepemimpinan presiden di bidang urusan luar negeri mencakup perancangan legislasi, menjalankan diplomasi pribadi, pidato umum, konferensi pers, dan pemberitaan melalui surat kabar. Demi kemajuan bangsa Iran dalam bidang iptek dan membebaskan dari ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang terbatas, Presiden Ahmadinejad memperjuangkan hak bangsa Iran atas nuklir sebagai sumber energi alternatif di forum internasional, kunjungan ke negara sahabat dan pernyataannya melalui pers, pidato nasional juga sosialisasi mengenai program nuklir damai Iran yang memang diperuntukkan bagi kemajuan dan kelangsungan kesejahteraan bangsa Iran dalam jangka panjang.
Dari beberapa peranan Presiden Ahmadinejad yang telah dijelaskan di atas, dalam penciptaan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah, peranan sebagai chief of foreign policy memiliki andil yang paling besar. Hal ini dikarenakan kebijakan-kebijakan politik luar negeri yang diambil Iran cenderung bersifat konfrontatif terhadap sistem internasional yang telah ada sehingga mengundang berbagai respon dari berbagai kalangan internasional. Sebagai chief of foreign policy Presiden Ahmadinejad berusaha menciptakan pola kekuatan baru
di kawasan Timur Tengah dalam upaya menguasai teknologi sumber energi baru selain minyak. Dimana kebijakan-kebijakannya tersebut mendapat tanggapan keras dari hegemoni Barat.
Berkaitan dengan tanggapan keras dari hegemoni Barat tersebut, Ahmadinejad muncul dengan kebijakan-kebijakan luar negeri yang secara terang-terangan menyatakan ketidak sepahamannya dengan sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan Barat terhadap Iran. Sebagai negara yang sedang berkembang Iran dianggap terlalu berani dalam menyatakan sikap penentangannnya. Namun, Iran dibawah pemerintahan Ahmadinejad akhirnya mendapatkan dukungan dari banyak negara-negara terutama negara-negara Islam, khususnya negara-negara di kawasan Timur Tengah. Ahmadinejad maju dan diakui banyak pihak sebagai simbol perlawanan terhadap Barat, termasuk di kawasan Timur Tengah.
Pada saat ini, Iran dengan dukungan dan kerjasama yang terjalin dengan baik dengan negara-negara Islam di dunia dan dengan Rusia, China, dan Venezuela, menjadi sebuah negara yang memiliki posisi tawar yang tinggi dalam sistem internasional. Iran menjadi salah satu negara yang tidak bisa dianggap remeh oleh Barat, Iran juga tidak akan mudah diinvasi dan dikuasai oleh Barat seperti yang telah terjadi dengan Irak karena banyaknya aspek yang penting untuk diperhitungkan sebelumnya seperti dukungan banyak negara terhadap Iran dan nuklirnya dan berkurangnya pasokan minyak dunia. Iran muncul sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah dalam sistem internasional.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan yang telah dijabarkan sebelumnya pada Bab IV. Terdapat beberapa point penting yang dapat penulis catat, yakni:
 Perubahan-perubahan eksternal yang berpangaruh terjadi pada masa pemerintahan Ahmadinejad seperti proses demokrasi yang terhambat, pudarnya dominasi Amerika Serikat di Timur Tengah dan Amerika Latin dan ketergantungan terhadap energi yang makin besar.
 Kondisi domestik di negara Iran baik pada masa pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad maupun pemerintahan sebelumnya juga menunjukkan kesadaran demokrasi masyarakat Iran yang tinggi. Dalam isu nuklir Iran ini pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad melakukan sosialisasi besar-besaran mengenai pentingnya pengembangan teknologi nuklir sebagai sumber energi yang efektif dan efisien yang bermanfaat bagi bangsa Iran. Sentimen nasionalisme dan keislaman sangat dikait-kaitkan dalam hal ini. Dalam prosesnya banyak ditentang oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan menjaga perdamaian dunia seperti Amerika Serikat, PBB, dan IAEA. Namun semakin besar penentangan yang diberikan kepada pemeritahan Ahmadinejad mengenai isu nuklir ini malah memunculkan sebuah konsep yaitu : kekompakan nasional dimana mayoritas rakyat Iran mendukung penuh kebijakan Ahmadinejad mengenai program nuklir damai.
 Ahmadinejad dalam menjalani kepemimpinannya sangat terpengaruh oleh karakter kepemimpinan Ayatullah Khomeini dan ide Revolusi 1979. Pada masa Khomeini masih menjabat sebagai Rahbar, kebijakan politik luar negeri yang berkompromi dengan pihak Barat dan Timur dianggap sebagai pengkhianatan terhadap Islam. Oleh karena itu tidaklah heran apabila ada kebijakan luar negeri Ahmadinejad yang dirasa terlalu bersikeras bila berhadapan dengan pihak Barat yang dianggap memaksa Iran untuk mengikuti agenda kepentingan mereka. Dengan itu pula Ahmadinejad bermaksud menghidupkan cita-cita Revolusi 1979 dengan mencetuskan Revolusi Ketiga yang merupakan revitalisasi Revolusi 1979.
 Kebijakan luar negeri Iran pada masa pemerintahan Ahmadinejad yang menarik untuk diamati adalah program nuklir damai Iran, penyangkalan peristiwa holocaust, upaya kerjasama dalam merekonstruksi dan perdamaian di Irak, menuntut penghapusan intervensi asing di kawasan Timur Tengah dan mengancam Amerika Serikat bahwa Iran akan menyerang pusat instalasi militernya di kawasan Timur Tengah apabila Amerika Serikat menginvasi Iran seperti kepada Irak dan Afghanistan.
 Kemampuan diplomasi pemerintah Ahmadinejad mengubah Iran menjadi salah satu negara terkuat di Timur Tengah. Dimana masalah nuklir menjadi fokus utama dalam diplomasi Iran. Namun, kebijakan politik luar negeri Iran ini berhasil mengubah masalah ini menjadi simbol perjuangan rakyat Iran menentang hegemoni Barat. Selain itu juga pemerintah Ahmadinejad aktif mengadakan kunjungan diplomasi ke luar negeri guna mencari dukungan dan mensosialisasikan bahwa program nuklir yang dicanangkan oleh pemerintah Iran itu bertujuan damai.

Dari beberapa poin diatas maka penulis menyimpulkan bahwa hipotesis yang penulis sampaikan yaitu: “Peranan Ahmadinejad terhadap kebijakan luar negeri Iran dalam usahanya menciptakan Iran sebagai kekuatan baru di kawasan Timur Tengah dalam masa sejak terpilihnya menjadi Presiden Iran 2005-2007 adalah sebagai Chief of Foreign Policy”, terbukti benar adanya. Dapat dikatakan demikian karena sebagai seorang pemimpin negara Ahmadinejad berperan dalam merumuskan, menetapkan dan menjalankan kebijakan luarnegeri (foreign policy), dimana kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Ahmadinejad dapat mengarahkan Iran menjadi sebuah kekuatan baru di Timur Tengah.

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan kepada berbagai pihak yang terkait dengan judul skripsi ini adalah:
• Kepada penstudi Hubungan Internasional agar selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi di Timur Tengah umumnya, dan isu program nuklir Iran pada khususnya. Hal ini diharapkan supaya para penstudi Hubungan Internasional dapat selalu memperbaharui perkembangan-perkembangannya dan dapat menganalisisnya secara baik dengan teori-teori hubungan internasional dan teori-teori sosial lainnya.
• Kepada pemerintah Iran agar lebih berusaha menggunakan pendekatan yang lebih persuasif terhadap Barat dalam masalah isu nuklir Iran sehingga dapat menghindari kemungkinan terjadinya Perang Dunia III yang dilatarbelakangi oleh isu tersebut.
• Kepada Ahmadinejad sendiri diharapkan untuk memberikan permintaan maaf bagi yang merasa disakiti akibat pernyataannya mengenai holocaust Yahudi oleh Jerman Nazi pada Perang Dunia II dan menindaklanjuti kebenaran peristiwa tersebut dengan membentuk sebuah badan penyelidikan demi kebenaran sejarah. Karena apabila dibiarkan akan menciptakan sebuah image mengenai pemikiran Ahmadinejad rasis dan anti Semit yang akan menghalangi usahanya dalam meyakinkan publik dunia bahwa program nuklir Iran dijalankan demi tujuan damai semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar